MALANG POST – Kisah tragis yang mencengangkan terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu. Seorang anak membunuh ayah dan neneknya. Sementara sang ibu dalam kondisi kritis. Peristiwa ini memunculkan pertanyaan besar tentang apa yang mendorong tindakan tersebut.
Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Hudaniah, S.Psi., M.Si., memberikan pandangannya mengenai kasus ini.
Hudaniah mengatakan bahwa dari informasi media, pelaku sempat mengaku mendengar suara-suara yang disebut sebagai halusinasi auditori. Namun, hal ini belum cukup untuk memastikan adanya gangguan psikologis tertentu.
“Untuk mendiagnosa seseorang mengalami gangguan psikologis, asesmen mendalam sangat diperlukan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan pernyataan media atau pengakuan sepihak. Apalagi diagnosa halusinasi memerlukan konfirmasi lebih lanjut oleh ahli melalui wawancara dan pengujian,” ungkapnya.
Dalam wawancara, Hudaniah juga mengungkapkan bahwa pelaku memiliki riwayat kunjungan ke psikiater sebanyak empat kali atas inisiatif ibunya. Selain itu, pelaku disebut mengalami insomnia yang berkepanjangan.
“Sulit tidur bisa menjadi salah satu pemicu tekanan psikologis. Namun perlu ditekankan lagi bahwa tindakan ekstrem seperti pembunuhan tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja.”
“Tapi bisa dipengaruhi oleh bagaimana mereka belajar menghadapi tekanan dari lingkungan sosial terutama dengan keluarga. Pada umumnya, perilaku seperti ini merupakan hasil dari akumulasi berbagai tekanan,” jelasnya.
Ia menyoroti bahwa perilaku melanggar hukum pada anak tidak muncul secara tiba-tiba. Biasanya, ada tanda-tanda yang mendahului. Seperti perubahan perilaku menjadi lebih pendiam atau mudah tersinggung.
Hudaniah juga menekankan pentingnya pola asuh dan faktor sosial dalam membentuk perilaku anak.
“Anak belajar dari lingkungan terdekatnya, terutama orang tua tentang bagaimana cara mengatasi masalah. Ketika tidak ada contoh positif. Mereka mungkin mencari referensi dari media sosial atau lingkungan lain yang tidak selalu konstruktif,” tuturnya.
Pengalaman traumatis atau tekanan yang tidak terselesaikan di masa lalu juga dapat memicu perilaku negatif pada anak. Pengalaman-pengalaman ini jika tidak diatasi atau dikomunikasikan bisa menjadi tekanan yang berat bagi anak.
Untuk menangani kasus seperti ini, Hudaniah menegaskan pentingnya pendekatan integratif. Penanganan tidak hanya fokus pada pelaku, tetapi juga melibatkan keluarga dan lingkungan sosialnya.
“Pendekatan integratif mencakup terapi psikologis, dukungan sosial, hingga intervensi medis jika diperlukan. Misalnya, jika ditemukan gangguan neurologis, maka terapi farmakologis bisa menjadi salah satu solusi,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya peran lembaga sosial dan pemerintah dalam memberikan layanan pendampingan kepada keluarga yang mengalami tekanan. Layanan seperti konseling di puskesmas atau komunitas pendukung dapat membantu keluarga menghadapi masalah secara lebih positif.
Hudaniah berharap tragedi serupa tidak terulang. Ia mendorong semua pihak mulai dari keluarga hingga pemerintah, untuk memperkuat sistem pendukung bagi anak dan keluarga.
“Masalah seperti ini tidak bisa diselesaikan secara parsial. Diperlukan pendekatan dari berbagai aspek, mulai dari keluarga, komunitas, hingga kebijakan pemerintah. Dengan begitu, kita bisa mengatasi persoalan secara menyeluruh dan mencegah peristiwa serupa terjadi lagi,” tutupnya. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)