Malang – Merasa paling baik dan mengkafirkan orang lain, bahkan orangtua sendiri. Itu sepenggal kalimat dari kisah yang dituturkan seorang eks narapidana terorisme (napiter) dan eks HTI. Tiga orang menceritakan kisahnya.
Sehingga generasi muda serius mewaspadai tindak pidana terorisme, intoleransi dan radikalisme. Bibit-bibit intoleransi dapat pula mengancam persatuan bangsa. Banyak testimoni bisa disimak saat Forum Intelektual bertajuk Radikalisme dan Intoleransi Dalam Perspektif Bhineka Tunggal Ika, yang digelar Polres Malang.
Dalam forum, eks napiter, Syahrul Munif mengakui. Bahwa pikiran dan fatwa ISIS sangatlah berbahaya. Ada kecenderungan jika ISIS menginginkan Indonesia seperti situasi yang dihadapi Suriah. Tidak bisa jihad ke Suriah, maka jihad di Indonesia.
“Ketika tertangkap Densus 88 dan dikumpulkan di komunitas dalam Lapas, akhirnya saya sadar. Bahwa saya salah. Karena mereka mudah sekali mengkafiri. Bahkan orang tuanya sendiri,” cerita Syahrul.
Ia lalu menyebut. Bibit intoleransi yang mengkaitkan agama dengan kepentingan politik, dampaknya akan sangat besar, spabila dibiarkan. Karena dapat mengancam persatuan bangsa.
Eks napiter lainnya, Ustadz Pujianto menyebut satu ciri bibit radikalisme. Yakni, merasa diri paling baik dibandingkan orang lain. Intensitas pengidapnya, berbeda-beda. Bergantung besarnya kekeliruan memahami konsep ketuhanan.
“Radikalisme yang saya alami dulu adalah merasa diri saya paling baik dibandingkan lainnya. Konsep ketuhanan yang hanya terfokus pada satu arah saja dengan memaksakan kitalah paling benar,” ungkapnya. Ia menegaskan. Sesungguhnya Pancasila tidak ada masalah dengan agama. Terlebih Islam. Jika ada yang mempermasalahkannya berarti masalah orang yang berpikiran seperti itu.
Di forum yang sama, Didik Lestaryono (Eks HTI) sempat pula menyampaikan pandangannya soal radikalisme dan intoleransi. Ia mengundurkan diri dari HTI sejak 2010 silam. Saat masih berada di kelompoknya, Didik menguraikan jika tujuan utamanya menghidupkan kehidupan Islam kembali kepada khilafah. Saat itu pula, ia mengetahui tidak ada rencana penggulingan terhadap pemerintah.
Selain eks Napiter, berbagai pendapat dan pandangan lain dikemukakan dari beragam instansi. Diantaranya Rektor Unisma Malang, Prof Dr H Masykuri MSi dan Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Dr Prija Djatmika SH MSi.
“Mari mendorong peran tokoh agama untuk menciptakan kerukunan, kedamaian bukan pada fanatik agama,” ajak Prof Dr H Masykuri selepas menguraikan jenis radikalisme, tiplogi kelompok dan intoleransi.
Nyaris senada dengan pandangan Masykuri, Dr Prija menyebut pentingnya keterlibatan para ulama dalam pencegahan pikiran radikalisme dan intoleransi.
Menurutnya perlu pendekatan kebijakan non hukum yang harus diutamakan dengan melibatkan para ulama sehingga secara muamalahnya tidak hanya menggunakan pendekatan hukum saja.
Forum pencegahan radikalisme dan intoleran itupun dinilai Dr Prija Djatmika sebagai satu wadah untuk melakukan penanggulangan yang positif dan bermanfaat. (san/jan)