Oleh: Dahlan Iskan
Sekelas Amerika pun sulit cari calon presiden yang muda.
“Anda nanti akan berumur 86 tahun di akhir masa jabatan kalau terpilih kembali sebagai presiden,” ujar moderator debat.
Maka moderator bertanya: bagaimana Joe Biden bisa meyakinkan pemilih bahwa ia akan mampu memegang jabatan presiden.
Pertanyaan yang sama ditujukan pada Donald Trump yang kelak berusia 82 tahun.
Hanya bagian umur itu yang paling menarik dari debat calon presiden Amerika kemarin pagi WIB. Yakni antara mantan presiden Donald Trump dari Partai Republik dengan incumbent Joe Biden dari Demokrat.
Selebihnya membosankan. Debat tanpa penonton ternyata monoton.
Sebenarnya dua orang itu belum resmi jadi calon presiden. Tapi hampir pasti.
Di sana formalitas seperti itu tidak dipersoalkan. Maka debat di televisi CNN pun berlangsung lancar: seperti sudah debat calon presiden beneran.
Biden menjawab pertanyaan umur itu dengan bukti kinerja masa pemerintahannya yang ia bilang begitu baiknya. Mulai dari inflasi yang rendah sampai tingginya penyerapan tenaga kerja.
Trump seperti biasa: agresif. Bahkan ia bilang: pada dasarnya ia tidak mau lagi maju sebagai capres. Tapi melihat kinerja Biden yang sangat buruk, ia tertantang untuk maju.
Trump sendiri menceritakan kesehatannya sangat baik. Begitulah hasil pemeriksaan. Juga masih kuat ikut kejuaraan golf –sambil mengejek ke kondisi Biden yang kurang energetik. Tapi yang diejek tidak bisa menerima: Biden menantang Trump untuk bertanding. Waktu jadi Wapresnya Obama lalu handicap golf Biden hebat: 6.
Memang debat di CNN kemarin terlihat Biden kalah energetik dari Trump. Biden kelihatan sangat tua. Ingatannya juga sempat terganggu saat ingin mengucapkan jaminan kesehatan.
Tapi gaya Biden memang begitu. Sejak dulu. Saya lihat kondisi Biden masih sangat kuat. Bahwa ia terlihat lemah karena gayanya memang seperti itu.
Sebagai orang yang berumur 82 tahun bicara Biden masih sangat cepat. Gaya Biden bicara memang begitu: gerak bibirnya sangat tidak kentara.
Berbagai ekspresi Joe Biden dan Donald Trump ketika terlibat debat calon presiden di CNN.–
Dan Anda sudah tahu: saat remaja Biden memang punya kelemahan bicara. Ia gagap. Parah. Lalu ia berusaha keras untuk bisa bicara normal. Berbagai cara ia lakukan. Sampai sering berkumur dengan es batu sambil berlatih bicara.
Biden akhirnya sembuh. Bisa bicara lancar. Bahkan bisa terpilih sebagai anggota Senat termuda. Saat itu umurnya 31 tahun. Rekor itu belum terpecahkan sampai sekarang.
Biden memang tidak mengandalkan keunggulan orasi. Ia pasti kalah. Biden lebih mengandalkan kejujuran, gaya hidup, reputasi dan kinerja. Termasuk ia selalu naik kereta api dari rumahnya di Delaware ke kantornya di Senat Amerika di Washington DC.
Di debat Capres 2020 pun gaya Biden juga seperti itu. Kalah agresif dengan Trump. Toh Biden yang terpilih.
Sedang Trump bicaranya cepat, lancar, dengan intonasi yang sangat menarik. Tapi isinya banyak klaim tanpa fakta.
Saya lihat belum ada tokoh yang se-pede Trump dalam mengklaim prestasi tanpa dukungan fakta. Juga ketika menyerang Biden: tanpa fakta. Praktis menghina.
Padahal rakyat Amerika sangat menjunjung tinggi kejujuran. Akankah itu akan jadi kelemahan Trump di mata pemilih Amerika?
Saya mencoba bertanya pada orang Amerika biasa. Ia anggota partai Republik tapi mengagumi Barack Obama. Ia Republik tapi memilih Joe Biden di Pilpres yang lalu.
Anda sudah tahu: ia adalah John Mohn. Orang Kansas. Sahabat lama saya. Yang baru saya kunjungi.
Ia menonton debat itu kemarin di rumahnya. Bersama isterinya. Lalu ia saya minta menuliskan komentar satu kalimat panjang:
“Menyaksikan debat itu, Trump adalah tipe seorang penindas. Korup secara moral. Berbohong tentang pencapaiannya saat jadi presiden”.
“Ia juga menghindar dari menjawab pertanyaan. Ia menghina Presiden Biden yang semua orang tahu kalau bicara gagap dan kalau bicara lembut. Biden juga menjawab semua pertanyaan moderator secara detil dan akurat”.
“Ketika Biden berjuang untuk mengatasi kegagapannya, ia terlihat tua dan lemah. Itu membuat saya sedih dan takut. Saya takut kebohongan dan hinaan akan mengalahkan kejujuran dan empati”.
“Pemilih yang masih mengambang akan memilih Trump dan demokrasi Amerika akan rusak untuk eksperimen kepresidenan Trump”.
Saya setuju dengan komentar John Mohn itu. Yang juga hilang dari debat tanpa penonton ini adalah satu: humor. Tidak ada rasa humor sama sekali. Biden yang biasa menyelipkan kalimat lucu dalam pidatonya juga serius sepanjang debat.
Masih mendingan debat Capres Indonesia yang lalu: sempat ada joget gemoy dan omon-omon. (***)