
HOME BASE: Posko Pendakian Gunung Wedon, yang didirikan Difpala. (Foto: Istimewa)
Malang – Saudara disabilitas mencintai alam. Kenapa yang lain tidak? Mendaki, membersihkan lingkungan. Bahkan menanam pohon di gunung. Itulah wujud nyata kepedulian Difpala. Difabel Pecinta Alam, bentukan Linksos (Lingkar Sosial).
Ken Kerta, pengelola Linksos Omah Difabel Kabupaten Malang memaparkan. Kegiatan Linksos meliputi tiga bidang. Diantaranya, advokasi kebijakan, pemberdayaan ekonomi dan edukasi masyarakat (umum dan difabel).
Pokja pemuda, berdiri Agustus 2019. Pokja ini melibatkan difabel. Lahir dari pertanyaan: Kenapa di Malang dan di luar kota, organisasi difabel biasanya diisi orang-orang sudah tua. Lalu pemudanya dimana?
“Nah karena itu, kami bentuk pokja pemuda,” sebut Ken kepada DI’s Way Malang Post. Tujuannya, meningkatkan minat pemuda difabel untuk bergabung. Selanjutnya menjadi divisi kepemudaan. Konsen pada bakat dan minat. Polanya menawari kegiatan apa yang diinginkan para penyandang disabilitas.
Linksos pun berupaya memfasilitasi. Banyak pemuda-pemudi difabel tertarik. Dari Kota Malang, Kabupaten Malang, Batu dan Pasuruan. Inilah embrio awal. Hingga berlanjut pada kegiatan pelestarian lingkungan hidup.
Pada 2021, Pokja Pemuda dikembangkan lagi. Menambah bidang. Salah satunya, wisata edukasi. Berkunjung ke tempat-tempat wisata, juga lokasi bersejarah. Mereka membuat catatan, apakah sudah akses dan ramah bagi difabel. “Kami akan memberi masukan ke pemerintah dan pengelola,” tambahnya.
Penambahan juga di bidang lingkungan hidup. Kegiatan yang sudah dilakukan, merawat Gunung Wedon Turirejo Lawang. Maka terbentuklah Difpala. Difabel pecinta alam.
Difpala ini, menjadi wadah bagi difabel yang tidak mampu mendaki. Meski kesulitan mendaki, mereka punya kecintaan dan kepedulian pada alam.
Dilakukan koordinasi dengan Pemdes Turirejo. Maka gunung Wedon diperbolehkan menjadi pusat pelatihan dan edukasi difabel. Kenapa gunung ini? Karena ketinggian di bawah 1000 mdpl. Tidak terlalu sulit dicapai para difabel.
“Jika didaki tidak harus menginap. Satu jam sudah bisa. Naik turun. Mengapa memilih gunung itu. Para difabel bisa mengeksplor dirinya untuk merawatnya,” urai Ken, Senin (28/12/2020) sore.
Sejak berdiri hingga kini, anggotanya mencapai 30-an orang. Terdiri dari 19 difabel dan 19 pendamping. Rinciannya: Seorang disabilitas fisik, tiga orang tuna grahita (disabilitas intelektual), empat orang disabilitas mental, lima orang tuna rungu, tiga orang tuna netra dan tiga orang pernah mengalami kusta.
Pendamping yang dilibatkan dari berbagai unsur. Seperti unsur medis, kader posyandu, warga desa dan sejumlah mahasiswa yang terlibat di pokja pemuda Difpala.
“Selain tanam pohon, kita pembersihan jalur pendakian. Sebab jalur itu juga dipakai petani. Teman-teman difabel butuh jalur yang baik dan jelas,” urai Ken Karta.
Di puncak gunung, para difabel juga membersihkan rerumputan. Puncaknya kini sudah rapi. Difpala pun memasang papan bertuliskan informasi soal Gunung Wedon (660 mdpl). Puncaknya cukup luas, sekitar 10 meter persegi. Bisa dijadikan perkemahan.
Nantinya diperuntukkan sekolah alam mendaki. Harapan lainnya, gunung Wedon ini dapat lebih diperhatikan masyarakat dan pemerintah. “Nanti kami sosialisasikan ke sekolah-sekolah (SD, SMP) dan informasikan. Bahwa gunung Wedon dapat dijadikan untuk berkemah dan rekreasi,” tambahnya. (san/jan)