MALANG POST – Ketua Asosiasi Pemerintah Desa dan Kelurahan (APEL) Batu, Wiweko mengaku sering kebingungan. Untuk membedakan mana wartawan yang kompeten dan abal-abal.
Terlebih-lebih, sering kali oknum wartawan abal-abal itu, justru berasal dari luar Kota Batu. Karena merasa asing, membuat sejumlah kades bimbang. Antara menerima atau menolak kehadiran wartawan tersebut.
Hal itu disampaikan Wiweko dalam Diskusi Jurnalistik. Diselenggarakan Balai Desa Punten, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Rabu (8/5/2024) kemarin.
Hadir di momen tersebut, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang Raya, Ir. Cahyono. Yang juga menjadi pembicara untuk memaparkan terkait pemahaman jurnalistik.
“Keberadaan mereka itu, membuat resah para kepala desa di Kota Batu, yang didatangi oknum-oknum yang mengaku wartawan. Apalagi mereka datang dengan dalih berbagai kepentingan. Tapi ujung-ujungnya ingin mendapatkan upeti.”
“Mulai dari yang memasang wajah memelas. Bahkan tak segan-segan mengintimidasi berujung tindak pemerasan. Jadi masih banyak oknum wartawan, yang dalam meliput berita, tidak sesuai kode etik jurnalistik,” kata Wiweko.
Padahal, sebutnya, banyak kepala desa yang tergabung dalam APEL Batu, masih awam dalam menyikapi oknum yang mengatasnamakan wartawan.
Itulah sebabnya, dengan adanya pemahaman terkait kejurnalistikan, Wiweko berharap bisa menjadi benteng bagi para Kades, agar bisa mempersempit ruang gerak wartawan abal-abal.
Cahyono, Ketua PWI Malang Raya, yang juga bersertifikasi Wartawan Utama, cukup memahami keluhan yang disampaikan sejumlah kades.
Pada tahun 2023 lalu, sebutnya, PWI Malang Raya menerima 57 pengaduan dari kades-kades dan 31 pengaduan dari sejumlah guru di Kabupaten Malang. Perkara yang dilaporkan, berkaitan dengan upaya intimidatif hingga berujung pemerasan yang dilakukan wartawan abal-abal.
“Kalau sudah melakukan pemerasan, itu tindak pidana. Harus dilaporkan ke aparat penegak hukum (APH). Ada satu wartawan abal-abal, yang saat ini mendekap di LP Lowokwaru karena pemerasan. Soal pemerasan itu, bukan lagi berkaitan dengan sengketa pers,” terang Cahyono.
Pemimpin Redaksi Suara Jatim Post ini menambahkan, keberadaan wartawan abal-abal merusak reputasi wartawan profesional, yang dibuktikan dengan lolos uji kompetensi.
Karena kerja jurnalistik, lanjutnya, tak hanya cukup berbekal kartu pers dan rekaman saja. Namun harus memiliki latar belakang pengetahuan dan integritas untuk menyajikan produk berita berkualitas.
“Tanpa produk jurnalistik, mustahil jika orang tersebut berprofesi sebagai wartawan. Jika mengacu pada UU Pers, ada kode etik yang dijunjung insan pers, dalam menjalankan tugasnya,” tandasnya.
Cahyono lantas membeberkan perbedaan antara wartawan abal-abal dan wartawan kompeten. Utamanya dari segi tata cara berperilaku dan menyampaikan pertanyaan. Dewan Pers memperbolehkan narasumber menolak memberikan pernyataan, ketika diwawancara wartawan yang belum memiliki sertifikasi uji kompetensi.
“Saat ini sangat mudah mendapat kartu pers, karena dijual oleh oknum perusahaan pers. Makanya Dewan Pers mengharuskan wartawan mengikuti uji kompetensi. Sebagai tolak ukur kompetensi dan profesionalitas.”
“Jika didatangi wartawan, bapak kepala desa jangan segan-segan untuk menanyakan, apakah sudah memiliki sertifikasi uji kompetensi atau belum,” papar dia.(*/ra indrata)