Malang Post – Pasien dengan kondisi kritis, Wahyu Widiyanto, meninggal dunia dalam perjalanan menuju RSSA, setelah sebelumnya tidak mendapat penanganan di RS Hermina.
Meski sebelumnya sempat dibawa ke rumah sakit yang berada di Jalan Tangkuban Perahu itu, menggunakan becak motor (bentor) dari rumahnya di Jalan Bareng Tenes IVA, Kelurahan Bareng, Klojen, Kota Malang.
Tetapi Wakil Direktur RS Hermina, Yulianingsih menilai, kejadian tersebut hanya miskomunikasi saja. Bahkan pihaknya menyangkal jika disebut RS Hermina menolak memberikan pertolongan kepada pasien kritis.
Pihaknya hanya mengakui, memang ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan di lingkungan internal rumah sakit. Terkait penanganan pasien.
“Karena saat itu, berdasarkan laporan dari dokter jaga, telah melakukan penanganan kepada pasien. Kendati waktu itu, dokter kami berpakaian preman. Jadi tidak diketahui oleh keluarga pasien.”
“Tapi dokter jaga saat itu, sudah mencatat dan memeriksa pasien. Semisal pada pupil mata, saturasi diketahui angkanya 77 (kritis) dan bagaimana denyut nadinya,” sebut Yulianingsih, kepada awak media, termasuk anggota DPRD Kota Malang, Arif Wahyudi, di RS Hermina.
Kalau pun ketika itu, pasien Wahyu Widiyanto tidak sempat mendapatkan perawatan yang lebih maksimal di dalam rumah sakit, Yulianingsih beralasan jika bed yang ada di rumah sakit bertipe C itu, sedang penuh.
“Kami perlu koordinasi dan komunikasi dengan unit lainnya. Jadi memang butuh waktu. Tidak bisa langsung main ambil (tempat tidur) dari ruangan. Selain itu, RS tidak bisa memeriksa kondisi pasien yang kritis sembarangan tempat.”
“Kalau kami memeriksa di lantai, misalnya, malah kita kena semprot. Seolah-olah kita tidak memanusiakan manusia. Karena kita ini tinggal di kultur adat Jawa. Lebih menjaga sopan santun dan norma adat Jawa,” sambung Yulianingsih.
Tetapi lagi-lagi Yulianingsih menolak, jika ada kelemahan dari sisi komunikasi di RS Hermina. Karena mereka tidak mengkomunikasikan kondisi tersebut, kepada keluarga pasien. Hingga menyebabkan keluarga pasien menganggap tidak ada perhatian dari rumah sakit.
“Memang ketika itu tidak kami sampaikan ke keluarga pasien, kalau sebenarnya bed untuk pasien itu sudah mau diturunkan. Bahkan informasinya sudah ada di lift untuk dibawa turun.”
“Jadi kami komunikasi dan koordinasi dengan unit lainnya. Sesuai prosedur yang ditetapkan di RS Hermina tersebut. Semuanya butuh waktu dan berproses. Tidak bisa kita melakukan serampangan dan begitu saja, tanpa prosedural,” jelas dia.
Disinggung soal penilaian pihak RS Hermina, terkait kondisi Wahyu Widiyanto, yang dianggap sudah meninggal dunia hanya dengan memegang tangan pasien. Padahal, relawan Esteh Hangat dan keluarga pasien, ketika itu menilai Wahyu Widiyanto masih bernafas.
“Soal itu kami belum tahu. Yang jelas laporannya waktu itu ada pemeriksaan oleh dokter. Kondisinya pasien masih bernafas. Kami dinilai tidak melakukan pemeriksaan, tentunya tidak seperti itu. Bagiamana pun kami telah memeriksanya,” jawab dia.
Yulianingsih juga mengakui, saat itu kondisi di RS Hermina sedang sibuk dan padat pelayanan. Menjadikan seluruh ruangan penuh dipakai merawat pasien. Baik pasien yang perlu diinfus, atau tindakan medis lainnya.
Sedangkan khusus untuk menangani Wahyu Widiyanto, dia berdalih membutuhkan tempat tidur khusus.
“Sementara kondisinya lagi full. Kalau kami melakukan pemeriksaan atau diagnosa tanpa ada bed, kami malah akan dihujat. Padahal jika kondisi darurat, pada kondisi apapun sebenarnya bisa dilakukan. Tapi kami tidak akan melakukan itu,” imbuhnya.
Itulah sebabnya, dalam kasus pasien Wahyu Widiyanto ini, RS Hermina melihat sekadar miskomunikasi saja. Karenanya, diperlukan klarifikasi lebih jauh.
“Saya juga sadar, kami masih pejabat baru di RS Hermina, sehingga ada keterbatasan. Kami berjanji akan segera berkunjung ke keluarga korban. Guna menyampaikan belasungkawa. Kalau tidak ada halangan, rencananya hari ini, Selasa (12/03/2024),” tandasnya.
Sementara itu, Arif Wahyudi, yang juga hadir dalam proses konfirmasi tersebut, hanya bisa geleng-geleng kepala, mendengarkan berbagai alasan yang disampaikan pihak RS Hermina.
“Ini benar-benar seperti guyon saja. Sangat tidak sinkron dengan pengakuan saksi mata. Baik dari pihak Relawan Esteh Hangat, maupun dari keluarga korban. Kebetulan saya ini juga tetangganya almarhum Pak Wahyu Widiyanto,” tegas Arif.
Menurut politisi PKB ini, jika RS Hermina benar-benar memberikan pelayanan dan penanganan yang baik dan benar, tidak mungkin pasien terlantarkan hingga meninggal dunia. Apalagi saat kejadian, banyak saksi mata yang menyebut kondisi sebenarnya.
“Yang disampaikan RS Hermina tidak jelas. Kalau memang ada pemeriksaan dokter, kan harusnya ada rekam medis. Masak cuma sekadar omongan saja. Katanya diperiksa dokter yang tidak pakai baju dokter. Tapi orang itu juga tidak membawa peralatan medis apapun. Ini kan lucu,” tandas anggota DPRD yang kembali terpilih untuk periode 2024-2029 ini.
Jadi apa yang didengar dan dilihat dari pengakuan keluarga korban, Arif menilai tidak sinkron dengan apa yang disampaikan pihak RS Hermina.
“Apalagi sama-sama kita dengar. Jika sudah mengetahui nilai saturasinya rendah, kenapa tidak langsung dibawa ke IGD atau ICU. Ini malah beralasan masih harus cari tempat tidur, harus pindahkan orang, harus koordinasi dan lainnya. Tapi pasien dibiarkan begitu saja di luar, tanpa ada pertolongan pertama,” timpalnya.
Karena kondisi tersebut, Arif bertekad akan terus mengawal kasus ini. Bahkan jika diperlukan, pihaknya akan meminta tindakan tegas dari pemerintah. Mulai dari Pemkot Malang, Pemprov Jatim maupun Kemenkes RI.
“Kami tidak ingin masalah ini akan kembali terulang. Ini sangat merugikan masyarakat. Terutama masyarakat kelas bawah.”
“Kami butuh klarifikasi dan sudah ditemui oleh pihak manajemen RS Hermina. Selanjutnya menunggu situasi dan kondisi keluarga korban seperti apa nantinya,” pungkasnya. (Iwan Irawan – Ra Indrata)