Pada pengelolaan dunia bisnis, dikenal sebuah metode yang disebut analisis SWOT. Dengan metode ini, pelaku usaha dapat memahami lapangan dan internal perusahaan. Keadaan ini juga tidak mengecualikan pada kelemahan yang dimiliki oleh perusahaan. Hal tersebut diadakan karena analisis ini mengakui bahwa setiap usaha memiliki risiko untuk jatuh. Bagian inilah yang menjadi cikal bakal sebuah bencana.
Bencana merupakan fenomena yang memunculkan intimidasi pada individu atau kelompok yang terdampak. Dalam peristilahan Inggris, bencana dikenal dengan sebutan disaster. Selaras dengan akar bahasanya yaitu Yunani, bencana merupakan konfigurasi astrologi yang tidak diinginkan. Terlepas dari konsep adikodrati maupun aspek teoritis, bencana adalah peristiwa yang menyasar segala arah.
Untuk itu Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats (SWOT) dewasa ini tidak lagi hanya berkembang dalam bisnis. Pemerintahan, organisasi kemasyarakatan dan segala pencabangannya juga turut memperaktikkan. Bahkan sebagai individu pun, hampir setiap orang menerapkannya. Langkah tersebut kemudian menjadi bagian dari proses kemajuan.
Posisi paling jelas pada praktiknya adalah ketika sebuah bencana/masalah dapat dihadirkan solusinya. Namun dalam rangka menemukan solusi tersebut, akan selalu membutuhkan tunjangan ilmu pengetahuan. Hal ini dibenarkan oleh sebuah penelitian yang dirilis pada 2013 lalu. Jurnal Psikogenesis karya Miwa Patnani mengungkapkan bahwa, salah satu faktor menghadirkan sebuah solusi adalah mengenal problematika yang dihadapi.
Kenal sangatlah berbeda dengan mengetahui. Mengenal artinya menghadirkan gambaran dan merumuskan proyeksi sebagai strategi. Pada posisi ini, kesadaran akan pengetahuan bermunculan. Kualitas individu menjadi ukuran utama menuju kelayakan memutuskan perkara. Tidak heran jika dalam mayoritas profesi diharuskan adanya standarisasi kelas pendidikan.
Manakala seseorang belum atau kehilangan kualitas, maka bangku-bangku sekolah adalah lokasi yang wajib disambangi. Bisnis, negara atau organisasi adalah jenjang berikutnya yang belum boleh disentuh. Seseorang harus mengenyangkan diri dahulu dalam kematangan pikiran. Prinsip inilah yang akhirnya menjadi bentuk mitigasi.
Jika mengutip pendefinisian BNPB, maka mitigasi itu sendiri diartikan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana. Tapi dalam bahasan ilmu, mitigasi adalah upaya menghilangkan potensi bencana yang disebabkan oleh kebodohan. Untuk itulah ada yang disebut dengan kurikulum belajar dan lembaga pendidikan. Maka tingkatan setelahnya adalah menghadapi masalah pembelajaran.
Kepada ranah yang lebih taktis, upaya ini telah dilakukan pemerintah. Hal demikian merupakan bentuk konkrit dari SWOT. Kurikulum pendidikan telah berjalan dan berubah-ubah seiring perkembangan zaman dan manusianya. Praktik tersebut merupakan respon atas kebutuhan dasar tekait gagasan dari kepala-kepala intelektual.
Sebagai tantangan lanjutan, terhitung pada (3/30), pendidikan dihadapkan pada keharusan Belajar Dari Rumah (BDR) karena Covid-19. Ada beberapa pandangan yang coba dilihat dalam keberlangsungan ini. Beberapa diantarnya adalah potensi peserta didik untuk kehilangan minat belajar. Berikutnya akan ditemukan kerentanan kekerasan tidak terdeteksi. Sebagai efek dari itu, negara melalui institusi pendidikan akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
Bacaan ini tertuang langsung dalam rilis Kemendukbud pada 20 Agustus kemarin. Pernyataan yang dimaksud sekaligus menjelaskan bahwa satuan pendidikan adalah lumbung pengetahuan yang harus diprioritaskan. Mereka adalah kader bangsa yang diharapkan mampu menginvestasikan pemikiranya untuk kemajuan negara di masa yang akan datang.
Negara memahami bahwa kepercayaan dan kolektifitas masyarakat adalah kekuatan (Strength) besar yang dimiliki. Namun demikian, negara juga memahami bahwa jarak adalah masalah dalam pembelajaran. Di sisi lain, negara berkesempatan (Opportunities) untuk mengalokasikan anggaran dan mengenal kebutuhan masyarakat dengan tepat. Terakhir, negara dalam merealisasikan penjabaran tersebut harus mampu menghadapi tantangan (Threats) oposan politik dibelakang layar.
Namun betapapun kepahaman tersebut teruraikan, kebijakan dan keadaan adalah pola yang dinamis. Keduanya beradu kuat dalam membangun pengaruh masing-masing. BDR bukan lagi langkah solutif yang cukup efektif. Akhirnya pemerintah memberlakukan mitigasi baru untuk melayani masyarakat.
Pertama-tama, Kemendigbud bersama Kemendagri, Kemenag dan Kemenkes memberikan izin penyelenggaraan Pendidikan Tatap Muka (PTM) pada Januari mendatang. Berikutnya, keputusan tertinggi dalam merealisasikan izin ini ada pada kepala daerah. Kewenangan tersebut diberlakukan karena kepala daerah dianggap lebih memahami kebutuhan masyarakat dan kesiapan daerah atas instrumen penunjangnya.
Pemerintah mengatur kerangka sistematis sampai kepada teknis pelaksanaan pembelajaran. Dikatakan bahwa hanya boleh ada 5 dari standar 15 peserta didik PAUD dalam kelas. Pada Sekolah dasar dan menengah dipatok hanya boleh 18 dari 38 peserta didik dalam kelas. Untuk SLB, diperkenankan 5 peserta didik dari 8 peserta didik yang ada di kelas. Sudah barang tentu, protokol alat kesehatan yang sebelumnya telah ada akan tetap diberlakukan.
Dari apa yang dicontohkan pemerintah, dapat disimpulkan bahwa analisis SWOT adalah bentuk pembanguan sumber daya manusia sekaligus mitigasi bencana. SWOT diciptakan sebagai istilah teoritis agar dapat diingat dan mudah dijalankan. Kata SWOT menggiring seseorang untuk membangun maping dalam pikiran.
Metode ini terbentuk karena adanya pengetahuan. Namun hari ini, SWOT turut menjadi cara menemukan pengetahuan. Setelah kematangan tersebut didapatkan, maka disinilah tersemat kepantasan bagi seseorang untuk menjalankan mitigasi lain sesuai kapasitasnya. Karena kenyataanya, sebagian besar dari mitigasi adalah didikan yang menghasilkan kepakaran.
Penulis : Galan Rezki Waskita
( Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)