Malang Post – Rektor Universitas Negeri Malang UM), Prof. Dr. Hariyono, M.Pd., memberikan pandanganya terkait pelaksanaan keterbukaan informasi publik di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan saat menjadi narasumber, pada kegiatan Catatan Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2023. Diselenggarakan Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) RI, Rabu (20/12/2023) lalu.
Pakar Sejarah Politik UM tersebut menyampaikan, keterbukaan informasi merupakan bagian dari aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Karena sebagai bangsa yang merdeka sejak tahun 1945, setiap warga negara punya kewenangan yang sama, untuk memperoleh informasi. Saat ini masyarakat bukan lagi sebagai kawula negara.
“Apabila di masa penjajahan kita terbagi menjadi tiga golongan, Bangsawan Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Dimana masyarakat pribumi kerap kali tidak pernah mendapat informasi. Nah, saat ini kita telah menjadi bangsa yang merdeka, sehingga hak atas informasi merupakan hak asasi setiap warga negara. Tidak lagi dimonopoli atas golongan tertentu,” jelasnya
Ia juga menganalogikan, keterbukaan informasi merupakan transformasi masyarakat yang tertutup ke masyarakat terbuka.
“Berbicara tentang informasi di masyarakat, kita bisa lihat ada kearifan lokal. Dalam masyarakat-masyarakat yang tradisional namanya hantu, demit, ilu-ilu, banaspati, setan itu hanya muncul di tempat yang gelap dan tidak banyak orang.”
“Artinya keterbukaan itu adalah sebuah nilai kebajikan yang dulu sudah disimbulkan oleh para pendahulu kita. Makanya ketika sebuah lembaga orangnya tidak informatif, maka orang itu akan mudah digoda oleh kekuatan-kekuatan gelap,” tuturnya.
Oleh karena itu, tambah Rektor, agar informasi ini tidak menjadi belenggu, transparansi keterbukaan menjadi kewajiban. Tetapi juga muncul lagi permasalahan, setelah informasi itu terbuka ke ruang publik, siapa yang kemudian akan bertanggung jawab?
“Karena di masyarakat kita, masih saja ada oknum yang ingin memanfaatkan informasi tersebut untuk kepentingan dirinya, yang ujung-ujunganya minta sesuatu,” tandasnya.
Guru Besar Departemen Sejarah FIS UM ini menekankan, ketercapaian hasil monitoring dan evaluasi keterbukaan informasi publik bukan hanya tanggungjawab Komisi Informasi Pusat. Secara substantif, keterbukaan informasi harus terus didorong untuk menjadi sebuah ilmu pengetahuan, yang harus didialogkan untuk bisa menjadi pengetahuan publik.
Dalam epistemologi trinitas kekuasaan karya Alvin Toffler, negara yang mampu memproduksi dan mengelola informasi, dialah yang akan menjadi negara yang kuat.
“Fenomena yang kita lihat sekarang, sebuah negara untuk mengalahkan negara lain, tidak harus menyerang pangkalan militernya. Tetapi pangkalan otak warga negara di negara yang ingin diserang melalui informasi,” tutur Prof. Hariyono.
Dihadapan para Komisioner Komisi Informasi Pusat dan Badan Publik, yang hadir dalam forum tersebut, Rektor UM juga memberikan testimoni keberhasilan UM, dalam mengelola informasi. Dikatakannya pengelolaan informasi publik di UM, difungsikan sebagai media promosi untuk menarik mahasiswa agar kuliah di UM.
“Pernah saat itu UM akan membuka kelas internasional, untuk penyelenggaraan perkuliahan di kampus luar negeri mitra UM. Namun dengan kondisi yang ada, program tersebut sulit untuk dijalankan dikarenakan perlunya dan support pendanaan yang besar.”
“Akhirnya kami mengumpulkan para orangtua mahasiswa, kita lakukan komunikasi. Alhamdulillah, sebagian orangtua bersedia untuk menambahkan besaran UKT demi tersenggarannya kegiatan.”
“Kita lakukan semua ini secara terbuka dan berhasil. Hal ini menjadi bukti bahwa informasi yang dikelola dengan baik, dapat diterima dengan baik pula oleh masyarakat,” ungkap Prof. Hariyono
Sebagai catatan kegiatan, Catatan Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2023 ini, digelar di Hotel Grand Mercure Jakarta.
Selain refleksi dan evaluasi, kegiatan ini juga merupakan ajang penyampaian Anugerah Keterbukaan Informasi Publik untuk kualifikasi Menuju Informatif dan Cukup Informatif. (M. Abd. Rahman Rozzi)