Malang – Indonesia dengan sumber daya alam yang melimpah merupakan penghasil batubara terbesar kelima di dunia. Sekaligus menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Karena masih minimnya pemanfaatan batubara di dalam negeri.
Potensi kontribusi yang besar tersebut, diperlukan kejelasan arah politik hukum tata kelola pertambangan mineral dan batubara. Agar mampu menyejahterakan rakyat. Khususnya di daerah yang kaya bahan tambang. Serta menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi berikutnya.
Namun demikian, dalam tataran realitas telah terjadi sebaliknya. Kondisi existing politik hukum tata kelola pertambangan mineral dan batu bara saat ini, menghadapi situasi krisis.
Juga dalam situasi anomali. Karena mengabaikan nilai-nilai keadilan sosial. Seperti yang tertuang dalam sila kelima Pancasila dan Alquran. Serta prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan.
“Kekayaan sumberdaya mineral dan batubara, tidak serta-merta menyejahterakan rakyat dan memberikan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Justru sebaliknya. Menimbulkan kemiskinan, konflik sosial, degradasi dan kerusakan lingkungan yang masif, terstruktur dan sistematis. Melalui berbagai kebijakan dan regulasi yang tidak ramah terhadap keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan,” jelas Profesor Bidang Ilmu Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam Prof Dr Rachmad Safaat SH M.Si.
Berbagai laporan hasil penelitian menunjukkan dampak aktivitas pertambangan. Meningkatkan angka pengangguran, kekerasan, ketimpangan ekonomi, kemiskinan, ketidakadilan sosial, pencemaran dan kerusakan lingkungan, korupsi dalam tata kelola pertambangan mineral dan batubara.
Melalui riset ini, Rachmad Safaat merekomendasikan: Perlunya konstruksi baru politik hukum tata kelola pertambangan mineral dan batu bara. Agar kebijakan dan regulasi ke depan lebih responsif.
Terhadap keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan dengan cara mengintegrasikan dan mengakomodasikan empat pilar utama.
Meliputi: 1. Teori hukum responsif dan progresif; 2. Teori good governance dan good environmental governance; 3. Keadilan sosial berdasarkan sila kelima dan Alquran; 4. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Agar rekomendasi tersebut dapat diwujudkan, diperlukan social movement atau gerakan sosial yang luas, komprehensif dan memiliki net working yang kuat. Untuk mengawal setiap agenda perubahan yang terkait dengan kebijakan dan regulasi tata kelola pertambangan mineral dan batu bara.
“Kalangan akademisi dari dunia kampus menjadi aktor utama (agen) pembaruan yang menjadi motor utama penggerak perubahan”, pungkasnya.
Prof Dr Rachmad Safaat SH M.Si menamatkan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum UB, S2 Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan, Program Studi Ekologi Manusia, Universitas Indonesia serta S3 di Universitas Diponegoro. Ia pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Periode 2015-2019.
Ia dikukuhkan di Gedung Widyaloka, Kamis (17/12). Prof Dr Rachmad Safaat SH M.Si sebagai profesor aktif ke-6 dari Fakultas Hukum; Profesor aktif ke-189 dari UB; profesor ke 272 dari seluruh profesor yang dihasilkan UB.
Ia dikukuhkan bersama Prof Luqman Hakim menjadi profesor aktif ke 12 dari Fakultas Ilmu Administrasi; profesor aktif ke-188 di UB; profesor ke 271 dari seluruh Profesor yang dihasilkan UB. (jof/jan)