Malang Post – Fenomena judi online semakin terasa mengerikan. Terbaru, menurut data yang dilansir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, total kerugian negara akibat judi online ditaksir mencapai Rp138 triliun. Angka ini menunjukkan ironi yang memperihantikan, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang hingga hari ini, tak kunjung menunjukkan perbaikan secara signifikan.
Hal ini mengundang perhatian pengamat isu cyberpsychology Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Aransha Karnilla Nadia Putri, S.Psi., M.Sc.
Keterlibatan seseorang pada judi online, katanya, sangat erat kaitannya dengan salah satu cabang dari psikologi sosial, yakni cyberpsychology. Yakni kajian yang fokus utamanya pada perilaku manusia khusus di dunia digital.
Penyebab utama hadirnya fenomena itu adalah berbagai perilaku ‘khas’ masyarakat Indonesia, yang seolah memberikan ruang terbuka untuk hal ini masuk. Hingga akhirnya terjebak dan sulit untuk menghentikannya. Masyarakat suka sekali dengan fear of missing out (FOMO). Suka ikut-ikutan tapi tidak tahu apa urgensi dan dampaknya.
“Dalam psikologi popularitas, terdapat istilah bandwagon effect, yakni kecenderungan yang mengatakan bahwa ‘yang ramai dan banyak dilakukan oleh orang lain, berarti benar’.”
“Bias seperti inilah yang memunculkan fenomena ini mudah menyebar. Apalagi jika sesuatu yang popular tersebut, dibawa seorang influencer ternama, masih muda, kaya raya. Maka akan sangat mudah masyarakat percaya dan bahkan mengikutinya,” tambahnya.
Berbagai perusahaan yang mengembangkan situs judi online, kata Aransha, juga memiliki sumber daya yang melimpah untuk melakukan promosi secara masif.
Persepsi individu tentang judi online ditanamkan secara perlahan. Bisa dilihat dari munculnya ratusan ribu website dengan iklan judi online, yang pasti perlahan-lahan akan masuk ke dalam otak individu yang melihatnya.
“Saya pernah search di Google, metode recovery untuk pengguna judi online, tapi yang muncul paling atas malah situsnya. Ini menunjukkan bahwa mereka memang menguasai digital dan sumberdaya mereka sangat melimpah untuk mengendalikan itu semua. Oleh karenanya masyarakat perlu sangat hati-hati dalam meningkatkan kewaspadaannya,” tambahnya.
Aransha menyampaikan, fenomena judi online ini juga memberikan dampak besar terhadap perubahan perilaku individu. Para pelaku judi online yang sudah mulai terpapar adiksi akan cenderung secretive. Ia akan menutupi perilakunya, agar tidak ketahuan oleh orang lain. Selain itu, ia akan memanfaatkan sekecil apapun kesempatan untuk memainkan permainan haram tersebut.
“Ekstrimnya yang baru-baru ini sempat ramai. Ada yang sambil berkendara naik motor sambil main slot. Artinya kepraktisan yang ditawarkan oleh permainan ini bisa berdampak besar kepada behavior individu,” ujarnya.
Dosen psikologi itu menambahkan, efek suara dan berbagai istilah catchy seperti ‘Gacor’ dalam permainan slot, dapat menghasilkan hormon dopamin yang menghasilkan kebahagiaan. Itu menjadi alasan mengapa mereka yang sudah mencoba judi online akan terus menerus memainkannya. Berharap mendapatkan kebahagiaan dengan cara instan.
Menurutnya, masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah cenderung berpikir jangka pendek. Utamanya yang berkaitan dengan pengelolaan finansial.
Meski begitu, problem ini tidak sesederhana masalah kelas ekonomi. Ia berharap seluruh lapisan masyarakat bekerjasama untuk membantu memberantas perilaku ini. Dimulai dari diri sendiri, orang-orang terdekat, hingga lingkup yang lebih luas lagi.
“Pada intinya tingkatkan literasi finansial, hiduplah di dunia nyata dan bersosialisasi. Dengan begitu, tidak ada kesempatan untuk kita memainkan permainan haram tersebut.”
“Pemerintah juga memiliki tanggungjawab untuk berperan aktif memberantas kasus ini. Mulai dari memblokir situs hingga membawa narasi yang mengedukasi masyarakat, agar rantai fenomena ini dapat diputus mulai dari akarnya,” tutupnya. (M. Abd. Rahman Rozzi)