Malang Post – FIFA secara resmi menyatakan Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 pada 29 Maret 2022. Keputusan FIFA itu disinyalir terjadi karena penolakan dari sejumlah pihak di Indonesia atas keikutsertaan tim nasional (timnas) Israel. Hal itu juga menjadi polemik dan perbincangan di berbagai media sosial.
Hal itu juga mengundang komentar dan pendapat dari Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Hafid Adim Pradana, M.A. Ia yang menjadi pemateri di UMMTalks mempertanyakan mengapa penolakan tersebut tidak dilakukan sejak timnas Israel dinyatakan lolos kualifikasi.
Hafid, sapaan akrabnya, mengatakan. Batalnya Indonesia menjadi tuan rumah tentu saja memberikan kerugian di berbagai sektor. Secara diplomatik, Indonesia akan memiliki citra yang kurang baik di mata internasional.
“Karena nasi sudah menjadi bubur, maka kita harus tetap menghargai dan menghormati keputusan FIFA. Sayangnya, Indonesia akan selalu diingat sebagai negara yang gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20,” ungkap Hafid.
Lebih lanjut, sektor ekonomi juga mengalami kerugian berkat batalnya Indonesia menjadi tuan rumah. Apalagi dalam dua tahun terakhir, pemerintah telah menggelontorkan biaya yang tidak sedikit. Baik itu untuk membangun fasilitas baru maupun memperbaiki infrastruktur yang ada.
Satu hal penting yang menjadi kerugian terbesar adalah gagalnya tim nasional Indonesia U-20 untuk ikut serta dalam ajang sepak bola bergengsi tersebut. Mengingat kesempatan timnas Indonesia untuk tampil di piala dunia didapat berkat terpilih menjadi tuan rumah.
Hafid juga menggarisbawahi pernyataan resmi FIFA di paragraf kedua. Yakni pembatalan Indonesia menjadi tuan rumah secara tidak langsung mengarah pada kejadian kelam sepak bola Indonesia yang terjadi pada Oktober tahun lalu. Yaitu, Tragedi Kanjuruhan 11022.
“Saya rasa, meskipun FIFA tidak pernah memberikan statement ke publik, pastinya FIFA tetap mengamati perkembangan hukum dan penanganan kejadian Kanjuruhan. Menurut saya bisa dikatakan negara ini tidak begitu serius menangani persoalan terkait,” katanya.
Hal lain yang menjadi pembahasan batalnya Indonesia menjadi tuan rumah adalah adanya penerapan standar ganda yang dilakukan FIFA. Hal tersebut sangat jelas terlihat pada Piala Dunia 2022 yang digelar di Qatar. Di mana pada saat itu Rusia melakukan invasi ke Ukraina, sehingga menjadi polemik dan juga isu global.
“Saat itu FIFA memberikan sanksi kepada federasi Rusia dengan mendiskualifikasi timnas Rusia dan tidak memperbolehkan bendera, nama, hingga atribut Rusia terpajang di gelaran itu,” terang Hafid.
Menurut Hafid, jika memang FIFA bersikap tegas pada Rusia, seharusnya hal tersebut juga diberlakukan sama kepada Israel karena telah memulai konflik dengan Palestina. Namun sikap itu tidak dilakukan oleh FIFA. Alasan besarnya adalah karena asosiasi FIFA dibentuk dan didirikan oleh negara-negara barat.
“Jadi jargon FIFA yang mengatakan sepak bola harus dipisahkan dengan politik itu hanya omong kosong,” tegas Hafid.
Terakhir, Hafid menyampaikan bahwa Indonesia harus mengambil pelajaran dari keputusan ini. Hal tersebut juga menjadi sanksi bagi dunia persepakbolaan indonesia. Sudah saatnya pemerintah dan PSSI memiliki komitmen untuk memperbaiki kualitas sepak bola yang ada.
“Jangan jadikan sepak bola sebagai ajang berpolitik. Adapun jika nanti kembali ingin menjadi tuan rumah event olahraga besar, ada baiknya untuk melakukan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mencapai pemahaman yang sama. Sehingga peristiwa ini tidak terulang,” saran Hafid mengakhiri. (M Abd Rahman Rozzi-Januar Triwahyudi)