Malang Post – Sebelumnya ramai diberitakan bahwa telah terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap oknum pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN)/Agraria dan Tata Ruang (ATR) di kantornya Jl Terusan Kawi No 10, Kota Malang pada Senin (20/2).
Tim Satgas Anti Mafia Tanah telah melakukan OTT terhadap oknum BPN Kabupaten Malang, Itu berdasarkan laporan korban ke Polresta Malang Kota atas dugaan pemerasan yang dilakukan oleh oknum BPN itu.
Advokad senior di Kota Malang MS Alhaidary SH MH ketika dimintai tanggapan soal kasus ini awalnya belum bersedia. Karena belum tahu persis proses pemeriksaan oleh penyidik.
Ia juga menjabarkan bahwa, dia tahu hanya dari berita media massa bahwa ada OTT terhadap pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Malang di kantornya.
“Sampai sejauh ini saya tidak tahu tindak pidana apa dan berapa yang disangkakan terhadap yang terkena OTT itu,” ujar Alhaidary.
Secara umum istilah OTT adalah operasi yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh aparat penegak hukum untuk menangkap orang yang akan melakukan tindak pidana. “Di banyak negara, OTT lumrah dilakukan, kecuali Prancis dan Swedia,” jelasnya.
Di Indonesia, operasi tangkap tangan (hard arrest operation) dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi melalui operasi rahasia (silent operation) dan terstruktur guna menangkap basah terduga saat melakukan tindak pidana korupsi.
Tentang terminologi atau istilah tangkap tangan sendiri diatur dalam Pasal 1 Ayat (19) KUHAP. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana. Atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu diakukan. Atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Atau apabila sesaat kemudian ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya, atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Dalam hal ini, orang yang tertangkap tangan telah memenuhi semua unsur delik, maka delik itu telah selesai (vooltoide delic). Jika seseorang yang tertangkap tangan belum memenuhi semua unsur delik, hakikatnya masih dalam delik percobaan.
Dalam hal tertangkapnya seseorang segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, jika delik dirumuskan secara formil, tindak pidana itu vooltoide delic.
Akan tetapi jika delik dirumuskan secara materiil, sangat mungkin terjadi percobaan selesai (vooltoide poging). Artinya akibat yang disyaratkan suatu rumusan delik belum terjadi.
Dalam hal tertangkapnya seseorang sesaat kemudian setelah diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya sama dengan keadaan pertama.
Dalam hal tertangkapnya seseorang sesaat kemudian pada orang yang melakukan tindak pidana, ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu, sama dengan kedua.
“Itu murni teori ya mas. Lalu mengenai tindak pidana apa dan pasal berapa yg disangkakan terhadap tersangka terkena OTT saya belum tahu,” jelasnya.
“Apakah pasal pemerasan atau penyuapan atau gratifikasi atau pungli saya nggak tau persis,” tambahnya.
Kalau penyuapan sudah diatur dalam UU No 11/1980 tentang Suap. Tetapi UU itu walau masih berlaku jarang digunakan. Karena sudah ditarik ke dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirumuskan ke dalam 30 bentuk, yang kemudian dikelompokkan menjadi tujuh kategori. Yaitu yang berkaitan dengan keuangan negara, suap menyuap, penggelapan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.
Perbedaan istilah-istilah itu bisa dilihat dari waktu, tujuan, pelaku, dan intensinya. Perbedaan dari sisi pelaku bisa dilihat pada istilah suap dan pemerasan.
Suap terjadi jika pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan kepada petugas layanan dengan maksud agar urusannya lebih cepat, walau melanggar prosedur. Sebaliknya, pemerasan terjadi jika petugas layanan yang secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat layanannya, walau melanggar prosedur. Uang pelicin bisa menjadi gabungan dari suap dan pemerasan.
Suap dan pemerasan akan terjadi jika terjadi transaksi atau deal antara kedua belah pihak. Berbeda dengan gratifikasi, yang tidak ada kesepakatan di antara keduanya.
Gratifikasi terjadi jika pihak pengguna layanan memberi sesuatu kepada pemberi layanan tanpa adanya penawaran atau transaksi apapun. Pemberian ini terkesan tanpa maksud apa-apa. Namun di balik itu, gratifikasi diberikan untuk menggugah hati petugas layanan, agar di kemudian hari tujuan pengguna jasa dapat dimudahkan. Istilahnya “tanam budi”, yang suatu saat bisa ditagih.
Gratifikasi menurut Penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor yaitu Pemberian dalam arti luas. Meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Penyuapan dan pemerasan memiliki unsur janji atau bertujuan menginginkan sesuatu dari pemberian itu. Sedang gratifikasi adalah pemberian yang tidak memiliki unsur janji, tetapi gratifikasi juga dapat disebut suap jika pihak yang bersangkutan memiliki hubungan dengan jabatan yang berlawanan dengan kewajiban dan hak yang bersangkutan.
UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memuat hukuman pidana untuk keempat tindakan korupsi itu. Suap, Uang Pelicin, dan Pemerasan terkait jabatan diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dengan pidana maksimal 5 tahun dan atau denda maksimal Rp 250.000.000.
Sementara gratifikasi memiliki hukuman lebih berat. Dalam Pasal 12, hukuman bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbukti menerima gratifikasi adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
“Tetapi dalam kasus gratifikasi, penerima tidak akan terkena hukuman jika dia melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK,” tandas Alhaidary. (M Abd Rahman Rozzi-Eka Nurcahyo)