“Ya ampuun, tugasnya banyak banget. Gue nggak sanggup lagi kalau kayak gini terus. Kapan gue punya waktu untuk healing coba? Apa kabar mental health gue, bestie?
”Paragraf diatas merupakan keluhan yang pernah aku baca di salah satu media sosial dan mendapat tanggapan yang cukup ramai bernada mengiyakan saat itu.
Pun ada juga beberapa komentar kontra yang mengaitkan generasi muda saat ini sebagai ‘Strawberry Generation’.
Istilah strawberry generation, menurut Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya merupakan generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati.
Istilah ini pertama kali muncul di Taiwan dan ditujukan pada generasi muda yang mudah sekali merasa rapuh dan tidak tahan tekanan. Seperti buah strawberry yang tampilannya indah, tapi mudah hancur saat ditekan.
Maraknya sharing di media sosial, menunjukkan betapa beratnya menjalani hidup dengan segala beban yang ada adalah hal yang lumrah kita temui di era digitalisasi ini.
Kemajuan teknologi yang sangat pesat membuat banyak tatanan kehidupan masyarakat sudah beralih baik fisik maupun mental, dan kebanyakan remaja memanfaatkan teknologi untuk menjadi pribadi yang up to date atau latah ingin menjadi viral.
Ngomong-ngomong soal ‘latah’, fenomena tersebut juga dampak dari peer pressure di kalangan remaja.
Kamu pernah nggak, melakukan hal yang nggak kamu sukai hanya karena ingin diterima, ikutan merokok sama teman karena takut nggak ditemenin lagi atau beli sepatu sekolah branded karena kamu lihat teman-temanmu sudah banyak yang pakai merk itu?
Yap, ketiga hal tersebut adalah contoh dari peer pressure. Peer pressure adalah pengaruh dari kelompok sosialmu yang mendorongmu untuk melakukan hal-hal tertentu.
Peer berarti mereka yang biasanya sebaya, seangkatan maupun sekelasmu. Pengaruhnya pun bisa langsung (bujukan) atau tidak langsung (mengikuti perilaku teman).
Namun, peer pressure bisa berdampak positif maupun negatif. Agar tidak terjebak di peer pressure negatif, kita harus mengenali diri sendiri.
Karena hal yang kita suka berbeda dengan teman yang lain and it’s okay to be different. Jangan takut tidak sepaham dengan teman dan berani untuk bilang ‘tidak’.
Last but not least, kita tidak bisa terus membiarkan diri kita terjebak menjadi generasi strawberry. Tak hanya cakap dalam teknologi dan luasnya pengetahuan, kita juga butuh social skill untuk membangun networking di masa depan dan mental yang lebih kuat.
Tidak salah kalau kita lebih aware tentang kesehatan mental, pentingnya healing, and it’s okay not to be okay. But, ‘not okay’nya jangan kelamaan. Karena nilai diri kita akan dipengaruhi oleh hal-hal yang menjadi perhatian kita.
Jangan sampai hal-hal yang destruktif mempengaruhi nilai diri kita yang sebenarnya. Tetap fokus ke tujuan, terlepas ada yang support atau belum. (*)
Penulis: Ganes Danastri Pratista Aura Afra
Ketua Direktorat Humas Malang Cerdas