
Rochmatika Nur Anisa. (istimewa)
Malang-Post – Baru-baru ini sebuah sinetron yang disiarkan di salah satu televisi swasta menuai banyak kecaman. Bukan tanpa sebab, sinetron yang ditayangkan di waktu berkumpulnya keluarga tersebut menampilkan anak usia lima belas tahun yang diberi peran sebagai istri ketiga dan dipoligami.
Ini tak lepas dari perhatian, Rochmatika Nur Anisa, Staf Humas dan Protokoler Universitas Muhammadiyah Malang. Berikut ini pemikirannya, yang disampaikan pada malang-post.com.
Tak hanya datang dari masyarakat umum, para aktivis perempuan juga ramai-ramai mengecam tayangan tersebut. Bahkan, sutradara film Cek Toko Sebelah, Ernest Prakasa, juga menyampaikan keresahannya terhadap tayangan ini melalui salah satu unggahan di akun Instagramnya.
Walaupun tayangan tersebut banjir dengan komentar miring, tidak sedikit masyarakat yang masih menormalisasikan pernikahan anak dengan dalih bahwa hal tersebut adalah sebuah kenormalan di tengah masyarakat.
Di tengah ramainya protes yang dilayangkan pada para pihak terkait seperti Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Perlindungan Anak, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Menteri PPPA akhirnya buka suara untuk menanggapi pergolakan di tengah masyarakat yang membahas tentang perlindungan anak tersebut.
Menteri PPPA, Bintang Puspayoga menyampaikan bahwa tayangan tersebut merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak anak yang dapat mengarah pada kekerasan seksual. Lebih lanjut, kekerasan seksual masuk pada empat isu kritis dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 sebanyak 39,4% siswa sekolah menengah mengalami kekerasan seksual yang berakhir dengan pernikahan dini. Angka tersebut menjadi salah satu fakta bahwa seharusnya segala bentuk aktivitas pendidikan harus didesain untuk memberikan rasa aman dan nyaman.
Mengutip istilah yang disebutkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (Mendikbud RI) Nadiem Makariem, lingkungan pendidikan harus menciptakan lingkungan yang sehat secara holistik.
Artinya, lingkungan pendidikan tidak saja sehat secara fisik, namun harus sehat secara emosional, spiritual, kesempatan, sosial, lingkungan dan intelektual.
Syarat tentang lingkungan sehat yang holistik tersebut dapat dimulai dengan mengintegrasikan pendidikan karakter pada semua mata pelajaran. Perlu diingat bahwa pendidikan karakter bukan lagi tugas guru Pendidikan Kewarganegaraan.
Selain itu, kebijakan pengintegrasian pendidikan karakter pada mata pelajaran juga harus didukung dengan kebijakan-kebijakan lanjutan sekolah yang lebih praktis salah satunya memaksimalkan kegiatan ekstrakurikuler sebagai wadah pengembangan bakat dan minat peserta didik di luar kegiatan kelas.
Senada dengan gagasan tersebut melalui Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbud RI juga mengajak masyarakat untuk gencar mendukung dan bekerja sama dengan pemerintah dalam mencegah kekerasan berbasis gender dari lingkungan rumah dan masyarakat.
Anggota keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari struktur kehidupan sosial memiliki peran strategis untuk terus memastikan keamanan anak dalam proses tumbuh kembanganya.
Hal-hal sederhana yang dapat dilakukan anggota keluarga dalam menerapkan pendidikan karakter di rumah adalah dengan memberikan tanggung jawab sederhana pada anak seperti membersihkan tempat tidur setelah bangun atau mewajibkan anak untuk mengembalikan barang yang baru saja dipakai di tempatnya semula.
Lebih dari itu, hal-hal kecil seperti itu adalah upaya pembentukan individu yang disiplin dan peduli dengan lingkungan sekitar. Lebih lanjut, perlu disadari tidak semua anggota keluarga memiliki kesempatan untuk memahami apa itu pendidikan karakter yang dapat menghindarkan anak dari kekerasan berbasis gender.
Di sinilah peran masyarakat yang sudah melek tentang informasi diharapkan dapat membangun kesadaran pada orang tua yang memiliki keterbatasan informasi tentang pendidikan penguatan karakter sebagai bentuk pemenuhan hak anak dalam bertumbuh dan berkembang.
Dengan demikian, Indonesia akan semakin siap menghadapi tahun 2045 dengan generasi emas yang memiliki lima ciri dasar Pendidikan Karakter yakni Religius, Nasionalis, Gotong Royong, Integritas, dan Mandiri. (yan)