
“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq”
Apa yang anda pikirkan ketika mendengar lantunan kalimat di atas?. Iya, kalimat tersebut adalah kalimat akad yang biasa diucapkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika menikah. Pernikahan adalah fase hidup yang penting bagi manusia. Oleh sebab itu, menjadi suatu hal yang sakral karena satu kali dalam hidup. Namun, acapkali kesakralan pernikahan ternodai oleh perceraian yang menyebabkan pasangan suami dan istri berpisah.
Terdapat beberapa faktor yang ditengarai menjadi sebab muasal perceraian. Faktor tersebut beraneka ragam, diantaranya adalah hadirnya pihak ketiga, perekonomian yang belum cukup, ketidaksiapan mental (psikis) dan lain-lain. Apalagi ketika sang suami maupun istri tidak mempunyai bekal pengetahuan yang memadai tentang kehidupan pasca menikah, sehingga semakin memperbesar peluang perceraian. Selain itu, tidak diimbanginya rekam jejak pendidikan yang mumpuni dari kedua belah pihak akan berimbas pada perkembangan anak-anak mereka kelak.
Laiknya pada zaman sekarang, masyarakat muda tengah digandrungi paradigma tentang pernikahan dini. Bukan nikah muda seperti dahulu yang karena perjodohan atau ‘kecelakaan’, tetapi lebih kepada pilihan. Sebagian besar diantara mereka memilih nikah muda berdasar atas kesenanganan. Jika sudah memiliki pasangan dan dianggap cocok kenapa harus menunda untuk beribadah? Selain itu, setelah menikah juga masih dapat melanjutkan aktivitas terdahulu.
Namun pertanyaannya adalah samakah rutinitas sebelum dengan sesudah menikah? Tentu jawabannya adalah tidak sama. Terlebih, apabila orang yang menikah memendam keinginan yang besar tentang mimpi yang belum digapai. Jadi, pasti ia akan kesusahan apabila meneruskannya karena berbentur dengan rutinitas baru setelah menikah. Bahkan, ada juga yang memutuskan untuk melepas atau tidak melanjutkan pendidikannya. Sayang memang, apalagi yang sudah setengah jalan menapaki pendidikan dan tinggal detik-detik menuju kelulusan.
Masalahnya, apa yang menjadi jaminan bahwa kedua hal tersebut yaitu menikah dan kuliah dapat berjalan beriringan atau katakanlah seimbang? Meskipun sudah ada contoh yang membuktikan, tetapi mayoritas dari mereka menyatakan condong ke satu sisi. Jika dikontradiksikan dengan pesatnya zaman, manusia yang mempunyai sumber daya rendah akan tergerus oleh waktu karena tidak mampu bersaing dengan teknologi, sehingga manusia perlu mempunyai kualitas sumber daya mumpuni yang dapat diperoleh dari bangku pendidikan.
Aristoteles pernah berkata “Pendidikan adalah bekal terbaik untuk perjalanan hidup.” Alangkah baiknya, sebelum berani menginjak kehidupan dalam rumah tangga, para calon pasangan suami dan istri mempersiapkan bekal pendidikan setinggi-tingginya sampai tingkat sarjana. Sebagaimana jargon yang dicanangkan pemerintah yaitu program wajib belajar 12 tahun yang tidak menutup kemungkinan akan semakin bertambah seiring majunya peradaban dan berdasarkan apa yang dunia butuhkan.
Sebab, ilmu yang diperoleh dari bangku perkuliahan akan membantu kehidupan mereka. Selain itu, pengalaman tatkala kuliah juga sangat berpengaruh terhadap mental mereka, meskipun kedewasaan tidak diukur dari umur, tetapi bagaimana cara menyikapi problem dalam rumah tangga bukan perkara yang dapat dengan mudah diselesaikan dengan jentikan jari. Semua perlu cara dan pengalaman yang tepat untuk menanganinya.
Orang yang berpendidikan akan mendapatkan tempat khusus tersendiri yang disediakan oleh Allah swt. Dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11, Allah berfirman:
“…Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”
Allah akan memberikan kedudukan yang tinggi bagi mereka yang berilmu dibandingkan yang lain. Nabi Muhammad pun sampai bersabda bahwa menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimah di seluruh dunia hingga harus pergi ke Negeri Cina. Ketika melihat ayat dan hadits tersebut, kita ditunjukkan bahwa berpendidikan tinggi itu adalah hal yang urgent. Sebab, dari sanalah seseorang dapat memperoleh banyak ilmu yang kompleks.
Tingkatan tertinggi dalam lembaga pendidikan adalah sarjana (perguruan tinggi). Orang yang menempuh pendidikan di dalamnya dinamakan mahasiswa/i yang menurut Knopfemacher [dalam Suwono, 1978] adalah insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi, dididik & diharapkan menjadi calon – calon intelektual. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa menjadi mahasiswa berarti siap menanggung beban, segala tantangan dan tanggung jawab besar dalam masyarakat yang linier dengan sebuah title dinamanya.
Tatkala lulus, sebagian besar mahasiswa kerap kali mengalami kebuntuan dan kebingungan berpikir tentang langkah apa yang harus diambil, apakah harus lanjut yang artinya kuliah S2 atau berhenti karena memilih bekerja atau malah menikah saja. Sebagaimana yang penulis tangkap dari sebuah kajian tokoh Dr. Mohammad Nasih, antara ketiga point yang diuraikan, beliau berpandangan bahwa lebih baik melanjutkan pendidikan mengingat urgensi sumber daya manusia yang kian mengkhawatirkan.
Dengan berpendidikan tinggi, diharapkan dapat mencetak generasi yang berkualitas dan berdikari dalam segi harta dan kekuasaan, sehingga dapat lepas dari kejumudan berpikir dan ketidakberdayaan. Berpendidikan tinggi juga berarti meningkatkan taraf perekonomian dan kepiawaian berlogika. Keuntungan tersebut sangat bermanfaat bagi kehidupan rumah tangga setelah menikah. Sebab, biasanya mereka akan lebih siap baik materi maupun psikis ketika menghadapi guncangan-guncangan masalah. Jadi, jika ada kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kenapa harus menolak? Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Penulis: Wahyuni Tri Ernawati (Mahasiswi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang, Mahasantri di Monash Institute Semarang)