Malang – Keluarga korban Fasihal Lathiful Fahri (FLF) asal Lamongan sudah ikhlas. Menerima kematian FLF sebagai takdir. Berbeda dengan keluarga korban Miftah Rizki Pratama (MRP) asal Bandung. Benar sudah ikhlas dan menerima musibah ini. Tapi, keluarga MRP minta proses hukum dilanjutkan.
Paman MRP, Mohammad Syarif mengatakan. Pihaknya menerima kejadian ini dengan ikhlas. Itu kehendak Tuhan. Tapi keluarga melihat kejanggalan. Menimbulkan beberapa pertanyaan.
“Pertama, berdasarkan informasi dari media online ataupun cetak. Panitia berbelit menjelaskan penyebab kematian. Mulai dari pingsan, jatuh, kelelahan. Bahkan ada yang menyebut asma. Maka dari itu, kami ingin clear masalah ini,” kata Syarif.
“Kedua, kondisi masih pandemi. Kuliah dihentikan. Kok bisa UKM Pagar Nusa mengadakan kegiatan. Ketiga, kami ingin melihat hasil visum pemeriksaan luar. Terhadap MRP yang dikeluarkan rumah sakit,” ujarnya. Namun hingga saat ini pihaknya belum mengetahui hasil sebenarnya. “Namun pernyataan Kasat Reskrim Polres Batu, tidak ada tanda-tanda kekerasan,” ujarnya.
Meski begitu, agar bisa makin percaya. Pihaknya ingin mengetahui hasil visum yang sebenarnya. “Buat kami, terpenting harus ada yang bertanggung jawab. Tanpa harus dibuktikan dengan hasil otopsi kami lebih menerima,” jelasnya.
Namun jika harus otopsi lebih dulu, pihaknya masih bimbang. Harus didiskusikan lebih lanjut dengan keluarga. Tapi saat ini, pihaknya menghendaki proses hukum lebih lanjut. Syarif menceritakan, informasi dari bapak MRP, sebagai orang pertama yang mengambil jenazah RS Karsa Husada Kota Batu. Bahwa terdapat darah yang keluar dari hidung dan telinga.
“Namun untuk pernyataan itu, perlu pembuktian. Karena belum bisa diakui kebenarannya,” ujarnya. Peristiwa serupa tak satu dua kali. Ditambah lagi, biasanya sang senior timbul ego. “Kami bukannya menuduh. Namun hal seperti itu bisa saja terjadi. Maka dari itu kami memberikan waktu kepada polisi untuk melakukan proses hukum lanjut,” tandasnya.
Ibu MRP, Meiri Nurfita menjelaskan. Anaknya tidak memiliki riwayat penyakit sama sekali. Sehingga kondisinya sehat. Bahkan sejak SMA, sudah rajin ikut pencak silat. Sehingga ketika ada aktifitas fisik, malah suka.
“Sejak kecil dia tidak punya penyakit bawaan. Tidak ada penyakit jantung, asma, ginjal itu tidak ada sama sekali,” ungkapnya. Meiri tahu jika putranya mengikuti kegiatan itu. Karena lebih dulu izin mengikuti kegiatan di kampus.
“Saat izin dia bilang gini ‘Bun hari Jumat abang mau ngadain kegiatan pencak silat Pagar Nusa, boleh tidak?’. Karena dari dulu saya tau anaknya aktif. Maka tak masalah bagi saya jika dia mengikuti kegiatan itu,” ujarnya.
Setelah itu, karena alat komunikasi harus dititipkan, keluarga los kontak. Meiri pun menyayangkan. Kenapa saat anaknya menghembuskan nafas terakhir sekitar pukul 16.00 WIB, dia baru dihubungi pukul 21.00. Bahkan yang memberi kabar itu bukan dari pihak panitia. Namun dari pihak luar.
“Terakhir saya berkomunikasi, dia bilang dua kali. ‘Bun doain ya, Bun doain ya’. Setelah itu tidak ada komunikasi sama sekali,” tutup Meiri sambil menahan isak tangis mengenang putra tercintanya. (ano/jan)