Surabaya – Rekomendasi dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) terkait status justice collaborator (JC) untuk terdakwa Eryk Armando Talla (No Perkara 82/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby), selain mendapat sorotan dari tim JPU (Jaksa Penuntut Umum) KPK juga ditanyakan hakim.
Termasuk pernyataan tertulis dari terdakwa yang menyebutkan bersedia mengembalikan hasil yang didapat dari kasus gratifikasi.
“Mekanisme seperti apa yang bisa menjamin terdakwa untuk mengembalikan hasil yang didapat dari korupsi maupun gratifikasi? Memang yang bersangkutan sudah membuat surat pernyataan tertulis. Tapi kalau dia kemudian ternyata tidak mengembalikan, lalu apa langkah LPSK? Padahal yang bersangkutan sudah mendapatkan hukuman yang ringan,” tanya Ketua Majelis Hakim Dr Johanis Hehamony SH MH dalam sidang, Selasa (23/2).
“LPSK akan mencabut perlindungannya. Hingga saat ini memang tidak ada aturan tentang pencabutan status JC. Tapi kami bisa mencabut perlindungannya. Termasuk kami berkirim surat ke Kemenkumham agar hak-hak yang bersangkutan saat dihukum, seperti keringanan hukuman tidak diberikan,” kata Wakil Ketua LPSK Susilaningtias yang hadir sebagai ahli.
“Apakah hanya itu? Apa tidak dibutuhkan penilaian atau appraisal dari aset-aset yang dimiliki terdakwa, dari ahlinya. Sehingga kalau kemudian dia ingkar mengembalikan hasil korupsinya, aset-aset itu bisa disita oleh negara untuk membayar uang yang didapatnya,” lanjut Johanis. “Idealnya memang seperti itu, yang mulia. Dan kini mekanisme seperti itu masih terus dimatangkan,” lanjut Susilaningtias.
“Tolong juga sampaikan kepada kami, barangkali ada indikator-indikator apa saja yang bisa jadi pegangan dalam hal ini soal justice collaborator. Hakim ini pusing ukurannya seperti apa. Ini ‘kan sangat subyektif,” lanjut Johanis Hehamony.
“Indikator sebagai justice collaborator tetap seperti yang saya kemukakan sebelumnya, yang mulia. Yang bersangkutan bersedia untuk mengungkap kasus yang diketahuinya. Kemudian, yang bersangkutan bukan merupakan pelaku utama. Bersedia mengembalikan hasil yang didapat. Ini disertai dengan surat pernyataan. Juga adanya ancaman buat dirinya untuk mengungkap kejahatan tersebut,” kata Susilaningtias.
Sedangkan hakim ad hoc, Emma Elyani SH MH menanyakan soal syarat-syarat seseorang direkomendasi LPSK sebagai justice collaborator atau JC. “Apakah kalau yang bersangkutan sangat aktif dalam kasus tersebut, apa juga disebut bukan pelaku utama?,” tanya Emma Elyani. “Itu bisa dilihat di muka persidangan yang mengungkapkan apakah yang bersangkutan itu pelaku utama atau pelaku minor. Itu dibuktikan di muka persidangan,” kata Susilaningtias.
Seperti diketahui, pertanyaan-pertanyaan tersebut mencuat saat digelar sidang kasus gratifikasi di Kab Malang. Sidang digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (23/2) lalu. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Dr Johanis Hehamony SH MH. Pihak terdakwa Eryk Armando Talla dan penasehat hukumnya menghadirkan Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias SH MH sebagai ahli.
Dalam hal konteks terdakwa Eryk Armando Talla, kata Susilaningtias saat memberikan keterangan sebagai ahli, yang bersangkutan sudah berkonsultasi sejak lama pada LPSK. “Ini berkaitan dengan situasi kasus yang dihadapinya,” katanya.
Untuk seseorang menjadi JC, kata Susilaningtias, maka LPSK memberikan rekomendsi yang bersangkutan pada jaksa penuntut umum. “Jaksa lah yang menentukan. Ini pada saat pembacaan tuntutan yang kami harapkan ada keringanan,” katanya.
“Sebagai seorang ahli, berdasarkan proses, dari laporan dan hasil evaluasi LPSK, apakah terdakwa Eryk Armando Talla layak untuk diberikan status sebagai Justice Collaborator?,” tanya penasehat hukum Eryk, Iki Dulagi. “Sampai detik ini, setelah kami lakukan evaluasi, yang bersangkutan layak statusnya sebagai justice collaborator. Banyak data-data tambahan yang terungkap karena perannya sebagai JC,” kata Susilaningtias. (azt/jan)