Malang – Isu ekstrimisme belakangan kembali santer. Sangat dekat dengan masyarakat. Begitu mudah melekat pada seseorang.
Ini dikarenakan banyak masyarakat belum paham apa itu ekstremisme, radikalisme maupun terorisme. Akibatnya, banyak pula masyarakat yang mudah mencap suatu golongan sebagai ekstremisme.
Melihat realitas sosial ini, Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar webinar nasional. Temanya: Menggugat Eksistensi Ektremisme di Indonesia dan Regulasinya.
Mengingat masih pandemi covid-19 dan pemberlakuan PPKM Mikro, maka digelar melalui kanal zoom dan youtube, kemarin.
Untuk memperluas sudut pandang peserta, maka dihadirkan sejumlah guru besar dan pakar. Antara lain: Guru Besar FH Universitas Diponegoro (UNDIP) Prof Dr Suteki SH M.Hum, Wakil Rektor IV UMM Dr Sidik Sunaryo SH M.Si M.hum dan Guru Besar FH Universitas Padjadjaran (UNPAD) Prof Dr Susi Dwi Harijanti SH LLM Ph.D sebagai pemateri.
Tak ketinggalan hadir pula Dr HM Busyro Muqoddas SH MH, Ketua PP Muhammadiyah, ormas keagamaan pendiri NKRI. Ia didapuk sebagai keynote speaker.
Dalam pemaparannya, Busyro menceritakan pengalamannya. Saat mendampingi para korban sejak zaman orde baru hingga sekarang. Ia melihat, masyarakat cenderung mengaitkan Islam dengan radikalisme.
“Selama ini, yang dicap radikal itu, kenapa selalu orang Islam. Hanya umat Islam saja yang sering dijadikan terdakwa permanen. Sejak orde baru hingga sekarang. Seharusnya dalam memberi label radikal atau ekstremisme kepada seseorang, masyarakat maupun para penegak hukum lebih berhati-hati,” kata Busyro.
Senada dengan Busyro, Prof Suteki mengatakan. Konsep radikalisme di dalam undang-undang bersifat lentur dan tidak jelas. Alias pasal karet.
Hanya karena beda pendapat dengan mayoritas orang maupun penguasa, tak lantas orang tersebut bisa diberi label ekstremisme, radikalisme maupun teroris.
“Saya sering dikatakan radikal maupun ekstrimis. Hanya karena pendapat saya berbeda dari suatu golongan. Padahal saya telah memberikan sudut pandang dari kajian ilmiah dan menjelaskan, bahwa pendapat tersebut salah. Ketika mencoba mendeskripsikan radikalisme menurut UU pun sifatnya sangat lentur sekali,” ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Rektor I UMM Prof Dr Syamsul Arifin M.Si sangat mengapresiasi webinar ini. Menurutnya, topik ini tidak bisa dilihat dari satu perspektif saja.
“Isu ini, tidak cukup untuk dikaji dari satu perspektif saja. Oleh karena itu, saya sangat senang webinar ini menghadirkan para pemateri yang sangat hebat di bidang masing-masing,” pungkasnya. (roz/jan)