Devi Nazilatul Fitria Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Hubungan Internasional, (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Di tengah gempuran perubahan global yang bergerak semakin cepat, pendidikan tidak lagi sekadar urusan ruang kelas, kurikulum, atau angka kelulusan.
Pendidikan telah menjadi arena persaingan antarbangsa. Negara yang tertinggal dalam kualitas pendidikan akan tertinggal pula dalam ekonomi, teknologi, dan bahkan kedaulatan politiknya.
Situasi ini menempatkan Sustainable Development Goals (SDGs) poin 4 tentang pendidikan berkualitas sebagai isu penting bagi Indonesia.
Indonesia, sebagai negara dengan bonus demografi yang besar, menghadapi tantangan yang paradoksal.
Di satu sisi, jumlah penduduk usia produktif yang melimpah seharusnya menjadi modal utama pembangunan.
Namun di sisi lain, kualitas pendidikan yang belum merata berpotensi mengubah bonus demografi menjadi beban demografi.
Ketimpangan akses dan mutu pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan, antara Jawa dan luar Jawa, serta antara kelompok sosial ekonomi, masih menjadi persoalan struktural yang belum sepenuhnya teratasi.
Pemerintah Indonesia memang telah melakukan berbagai upaya untuk mengejar ketertinggalan tersebut.
Program wajib belajar, Kartu Indonesia Pintar, Merdeka Belajar, hingga digitalisasi pendidikan merupakan langkah-langkah yang patut diapresiasi.
Namun, persoalan pendidikan Indonesia tidak semata soal kebijakan, melainkan juga soal ekosistem. Kualitas guru, infrastruktur sekolah, kesenjangan digital, serta arti penting pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.
Dalam persaingan pengetahuan dan teknologi antarnegara, pendidikan Indonesia dituntut tidak hanya mencetak lulusan, tetapi juga membentuk manusia yang adaptif, kritis, dan mampu bersaing secara global.
Sayangnya, sistem pendidikan kita masih terlalu sering menekankan hafalan ketimbang pemahaman, kepatuhan ketimbang kreativitas.
Akibatnya, banyak lulusan yang gagap menghadapi perubahan, dan tidak sedikit yang tertinggal dalam persaingan internasional.
Lebih jauh, pendidikan juga berkaitan erat dengan keadilan sosial. Ketika akses pendidikan berkualitas hanya dinikmati oleh kelompok tertentu, maka ketimpangan akan terus direproduksi lintas generasi.
SDG 4 sejatinya menuntut negara hadir untuk memastikan bahwa anak di pelosok Papua memiliki kesempatan yang setara dengan anak di pusat kota Jakarta. Tanpa keberpihakan yang nyata, pendidikan justru berisiko memperlebar jurang sosial.
Di tengah kompetisi antarnegara yang semakin ketat, Indonesia tidak bisa berjalan lambat. Negara-negara lain berlomba menyiapkan sumber daya manusia unggul sebagai kunci daya saing nasional.
Jika Indonesia gagal memperbaiki kualitas pendidikan secara menyeluruh, maka ketertinggalan bukan lagi ancaman, melainkan keniscayaan. Pendidikan bukan hanya investasi jangka panjang, tetapi juga pertaruhan masa depan bangsa.
Dengan demikian, pencapaian SDGs 4 di Indonesia harus dipahami bukan sekadar sebagai pemenuhan target internasional, melainkan sebagai agenda nasional yang mendesak.
Pendidikan harus ditempatkan sebagai prioritas strategis, bukan sekadar sektor pelengkap pembangunan.
Tanpa pendidikan yang berkualitas dan inklusif, mimpi Indonesia untuk menjadi negara maju akan selalu tertahan di garis start. (***)
Penulis: Devi Nazilatul Fitria, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang




