MALANG POST – Kota Batu perlahan tapi pasti menunjukkan denyut pemulihan ekonomi yang makin terasa. Hingga Agustus 2025, kondisi ketenagakerjaan di kota wisata ini bergerak ke arah yang lebih sehat. Angka pengangguran menurun, jumlah penduduk bekerja meningkat dan partisipasi angkatan kerja kian menguat.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk usia kerja di Kota Batu mencapai 176.927 orang. Angka itu naik 2.221 orang dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dari jumlah tersebut, 142.486 orang atau 80,53 persen telah masuk dalam kategori angkatan kerja.
Lonjakan partisipasi ini terbilang signifikan. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) melonjak 7,00 persen poin dibandingkan Agustus 2024. Artinya, semakin banyak warga Batu yang aktif terlibat dalam aktivitas ekonomi, baik bekerja maupun mencari pekerjaan.
Kabar baik lainnya datang dari sisi penyerapan tenaga kerja. Jumlah penduduk bekerja di Kota Batu kini mencapai 137.462 orang. Bertambah 13.659 orang dalam setahun terakhir. Pada saat yang sama, jumlah penganggur justru menyusut menjadi 5.024 orang, turun 357 orang dibandingkan tahun sebelumnya.
Dampaknya langsung terasa pada Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Angka pengangguran Kota Batu turun menjadi 3,53 persen. Lebih rendah 0,11 persen poin dibandingkan Agustus 2024. Sebuah sinyal bahwa pasar kerja bergerak ke arah yang lebih positif.
Sektor jasa kembali membuktikan diri sebagai tulang punggung perekonomian Kota Batu. Dari total penduduk bekerja, sebanyak 88.568 orang atau 64,43 persen menggantungkan hidupnya di sektor ini. Mulai dari pariwisata, perdagangan, hingga berbagai layanan penunjang ekonomi kota.
Peningkatan terbesar juga terjadi di sektor jasa, yang menyerap tambahan 8.544 tenaga kerja dalam setahun. Sektor manufaktur menyusul dengan kenaikan 5.171 orang. Sementara sektor pertanian—yang selama ini menjadi ciri khas wilayah dataran tinggi—mengalami penurunan tipis sebanyak 56 orang.
Jika ditilik dari status pekerjaan utama, struktur pasar kerja Kota Batu masih didominasi oleh Buruh/Karyawan/Pegawai dengan porsi 43,19 persen. Disusul mereka yang Berusaha Sendiri sebesar 19,12 persen, serta Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap atau Pekerja Keluarga sebesar 14,35 persen.

JOB FAIR: Salah satu cara Kota Batu untuk menekan angka pengangguran dengan menggelar Job Fair yang mempertemukan pencaker dan perusahaan. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Namun, di balik angka-angka positif itu, ada dinamika yang patut dicermati. Proporsi pekerja informal terus membesar. Pada Agustus 2025, sebanyak 52,31 persen penduduk bekerja atau sekitar 71.912 orang berada di sektor informal. Angka ini naik 1,78 persen poin dibandingkan tahun lalu. Sebaliknya, pekerja formal justru menyusut menjadi 47,69 persen.
Fenomena ini menunjukkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, sektor informal terbukti lentur dan mampu menyerap tenaga kerja. Di sisi lain, isu keberlanjutan usaha, kepastian pendapatan, hingga perlindungan tenaga kerja menjadi pekerjaan rumah yang tak ringan.
Tantangan lain terlihat dari latar belakang pendidikan pencari kerja. Lulusan SMA tercatat memiliki tingkat pengangguran tertinggi, yakni 7,26 persen. Disusul lulusan Diploma sebesar 6,37 persen dan lulusan SMK 3,68 persen. Fakta ini mengindikasikan adanya ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan tertentu dengan kebutuhan pasar kerja di Kota Batu.
Dari sisi gender, kesenjangan partisipasi kerja masih cukup lebar. TPAK laki-laki mencapai 88,45 persen, jauh di atas perempuan yang berada di angka 72,57 persen. Meski demikian, dinamika pengangguran menunjukkan cerita berbeda. TPT laki-laki tercatat 4,10 persen, sementara perempuan justru lebih rendah di angka 2,82 persen. Dibandingkan tahun sebelumnya, TPT laki-laki cenderung naik, sedangkan TPT perempuan menurun cukup signifikan.
Kepala BPS Kota Batu, Herlina Prasetyowati Sambodo, menilai tren ini sebagai sinyal pemulihan ekonomi yang kian menguat. Kenaikan TPAK dan meningkatnya jumlah penduduk bekerja menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi di Kota Batu semakin pulih.
Penurunan TPT juga menjadi indikator bahwa pasar kerja kita bergerak lebih positif dibandingkan tahun sebelumnya,” tambahnya.
Meski demikian, Herlina mengingatkan agar euforia tidak berlebihan. Menurutnya, dominasi sektor informal perlu menjadi perhatian serius semua pihak.
“Kami melihat adanya pergeseran ke sektor informal. Ini memang mampu menyerap tenaga kerja, tetapi keberlanjutan usaha dan perlindungan pekerjanya harus tetap menjadi prioritas,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kesenjangan gender dalam dunia kerja. “Perbedaan TPAK antara laki-laki dan perempuan masih cukup lebar. Ke depan, peningkatan akses perempuan terhadap peluang kerja sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif,” pungkas Herlina. (Ananto Wibowo)




