MALANG POST – Penyusutan anggaran pendidikan Kota Batu pada 2026 menjadi sinyal waspada bagi sekolah. Turunnya pagu dari Rp246 miliar menjadi Rp227,4 miliar, atau berkurang Rp18,6 miliar memaksa satuan pendidikan memutar otak lebih keras untuk menjaga ritme operasional.
Terutama dalam mengelola dua hal utama pembiayaan, yaitu Bantuan Operasional Sekolah Nasional (Bosnas) dan Bantuan Operasional Sekolah Daerah (Bosda).
Di atas kertas, sekolah masih bisa bergerak dengan Bosnas. Mekanismenya jelas, penyalurannya stabil, sehingga proyeksi kebutuhan bisa disusun tanpa banyak guncangan. Namun di lapangan, kecemasan justru datang dari skema Bosda, khususnya untuk bantuan berbentuk barang.
Plt Kepala SDN Ngaglik 1, Budiono mengaku, sering waswas saat mendekati masa penyaluran Bosda. Bukan karena nominal, tetapi soal ketepatan barang yang datang. Sebab, antara usulan dan realisasi kerap tidak sinkron.
“Misalnya kami mengajukan ATK, tapi yang datang hanya satu jenis barang. Di sekolah kami hanya dikirimi kertas HVS. Ada sekolah lain justru hanya dapat tinta saja. Ketidaktepatan seperti itu mengganggu kegiatan belajar mengajar,” ujar Budi, Rabu (10/12/2025).
Menurut dia, skema Bosda barang yang tidak merata membuat sekolah kesulitan menyusun prioritas anggaran. Apalagi beberapa kebutuhan tidak bisa menunggu, seperti ATK, perawatan rutin, hingga pengadaan pendukung pembelajaran.
Di saat bersamaan, sekolah tak bisa terlalu leluasa menutupi kekurangan melalui Bosnas. Ada batasan-batasan belanja yang harus disesuaikan. Misalnya, alokasi untuk gaji guru honorer maksimal 20 persen. Itu pun hanya cukup bagi sekolah yang jumlah honorer-nya sedikit. Namun bagi sekolah yang menghimpun banyak GTT dan PTT, kondisinya menjadi pelik.
“Beberapa sekolah terpaksa memangkas gaji guru honorer. Rehabilitasi ringan juga dibatasi 20 persen,” imbuhnya.

CEK MBG: Kepala Dindik Kota Batu, M Chori saat melakukan pengecekan kelancaran program pemerintah pusat di Kota Batu. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Sebelumnya, beberapa kebutuhan mulai honor guru, ekstrakurikuler hingga dukungan kegiatan ditopang paguyuban. Tetapi sejak Oktober, sebagian beban itu mulai ditanggung Dinas Pendidikan. Meski membantu, beban operasional sekolah tetap tidak ringan.
Untuk pembinaan lomba misalnya, pola sharing masih diterapkan. Sekolah menanggung biaya pembinaan, sedangkan orang tua menutup biaya transportasi. “Namun pola itu cukup memberatkan sekolah dengan mayoritas siswa dari keluarga tidak mampu,” jelas Budi.
Karena itu ia berharap pola distribusi Bosda dibenahi. Pemetaan harus lebih cermat, penyaluran lebih merata dan barang yang dikirim benar-benar sesuai kebutuhan riil sekolah. Dengan begitu, sekolah bisa fokus memakai anggaran lain untuk pos yang memang tidak tercover Bosnas.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Batu, M. Chori memastikan, pihaknya sedang menyusun skema baru agar penyaluran Bosda lebih akurat. Evaluasi telah berjalan, termasuk mengutamakan penyaluran berbasis pengajuan sekolah, bukan sekadar mengacu standar pengadaan.
“Kami pastikan mekanisme ke depan lebih menyesuaikan kebutuhan sekolah,” tegasnya.
Chori juga meminta sekolah tidak terlalu risau soal rehabilitasi fisik. Pemerintah pusat, katanya, rutin menyalurkan dana revitalisasi. Tahun ini, misalnya, Kota Batu menerima Rp1,7 miliar untuk perbaikan lima sekolah. Dana itu digunakan untuk perbaikan ruang kelas, pembangunan UKS, ruang kelas bersama, toilet, hingga musala.
Ia mendorong sekolah lebih aktif mengajukan proposal agar dapat memanfaatkan skema pembiayaan pusat tersebut, sehingga beban APBD bisa ditekan. “Kami juga berharap ada penambahan anggaran pada tahun depan,” ujarnya.
Di tengah pengetatan anggaran, sekolah kini dituntut lebih adaptif. Di satu sisi, masih harus menjaga kualitas pembelajaran. Di sisi lain, mesti pandai menavigasi kebijakan yang berubah dan sumber dana yang menyusut. Tahun 2026 tampaknya bakal menjadi tahun penuh strategi bagi dunia pendidikan Kota Batu. (Ananto Wibowo)




