TES: Tim Dinkes Kora Batu saat melamukan skrining menggunakan alat smokerlyzer untuk mengukur kadar karbon monoksida (CO) dalam napas sebagai indikator paparan asap rokok pada remaja di Kota Batu. (Foto: Dinkes Kota Batu for Malang Post)
MALANG POST – Fenomena perokok anak dan remaja di Kota Batu kian mengkhawatirkan. Di tengah masifnya kampanye hidup sehat, angka anak yang mengisap rokok justru merangkak naik. Bahkan, sebagian besar orang tua disebut tidak melarang dan ada yang justru memberi rokok kepada anaknya.
Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu menunjukkan lonjakan tajam dalam dua tahun terakhir. Tahun 2023, tercatat 270 remaja aktif merokok. Setahun berselang, jumlahnya melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 763 remaja.
“Yang terdata bukan hanya rokok kretek. Ada rokok linting, shisha, sampai rokok elektrik seperti vape, pod, hingga ikos,” kata Kabid Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Penanganan Bencana Dinkes Kota Batu, dr Susana Indahwati, Minggu (7/12/2025).
Pendataan dilakukan melalui skrining memakai smokerlyzer, alat yang mengukur kadar karbon monoksida (CO) dalam napas. Dari situlah terungkap fakta lebih mencengangkan, usia perokok makin muda. Bila tahun 2023 perilaku merokok tercatat pada rentang 10–18 tahun, data terbaru menunjukkan kasus merokok pada anak usia 4–9 tahun sudah muncul.
“Kelompok usia 4–9 tahun di Jawa Timur menyumbang 2,6 persen dari total perokok. Sedangkan usia 10–18 tahun mencapai 44,7 persen,” jelas dr Susan.
Ia menegaskan ada dua faktor yang paling sering mendorong anak mulai merokok, yakni lingkungan pergaulan dan keluarga. Banyak orang tua dianggap abai. “Seringkali orang tua tidak melarang, bahkan ada yang memberi rokok pada anak. Lingkungan yang penuh perokok memicu anak meniru,” imbuhnya.
Lebih ironis lagi, 60,6 persen orang tua disebut tidak mencegah anak membeli rokok. Minimnya uang saku bukan penghalang, sebab rokok eceran dijual per batang dengan harga murah. Sementara rokok elektrik makin mudah diakses melalui skema arisan dan cicilan di marketplace.
dr Susan juga mengaitkan perilaku merokok dengan kondisi kesehatan mental remaja. Banyak anak yang mencari pelarian dari tekanan dan mencoba rokok sebagai mekanisme koping. ‘Peran orang tua penting, bukan sekadar melarang, tetapi juga memberi dukungan emosional,” tuturnya.
Tingginya angka perokok anak dan remaja ini tak luput dari perhatian Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Kota Batu. Mereka menilai lonjakan perokok muda merupakan kegagalan multisektoral.
Konselor Puspaga Kota Batu, Lovita Siregar menambahkan, persoalan ini bukan hanya soal kebiasaan buruk, tetapi juga problem psikososial. Remaja yang labil cenderung meniru kelompok agar diterima.
“Merokok dianggap cara cepat menyesuaikan diri. Mereka sering bertindak impulsif,” ujarnya.
Menurut Lovita, meningkatnya jumlah perokok remaja di Kota Batu menandakan lemahnya tiga hal, yakni pengawasan keluarga, kendali penjualan rokok eceran, serta penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di sekitar sekolah.
“Skrining dengan smokerlyzer sudah tepat. Tapi penanganannya harus terpadu. Orang tua harus diedukasi, akses rokok harus dibatasi dan penjualan eceran mesti ditegakkan larangannya,” tegasnya.
Lovita juga menekankan perlunya penguatan regulasi iklan produk nikotin, pengawasan penjualan vape, serta program kesejahteraan mental di sekolah. Ia mendorong kampanye masif melalui pelibatan sekolah dan komunitas.
“Penegakan aturan larangan merokok harus digencarkan. Kalau tidak, tren ini akan terus naik,” sebutnya.
Menurutnya, lonjakan perokok anak di Kota Batu kini menjadi alarm keras bagi banyak pihak. Tanpa langkah tegas dari keluarga, sekolah, pelaku usaha, hingga pemerintah, anak-anak akan semakin mudah terjerat adiksi nikotin di usia yang seharusnya masih dipenuhi bermain, belajar dan tumbuh sehat. (Ananto Wibowo)




