MALANG POST – Fenomena viralitas media sosial di tanah air, dinilai makin liar. Karenanya, penting sekali adanya literasi digital, untuk mencegah provokasi akibat viralitas di media sosial tersebut.
Penegasan itu disampaikan Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Malang, Nasrullah, M.Si., dan Praktisi Media Digital, Faizal Alfa. Saat menjadi narasumber talk show di program Idjen Talk, yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Senin (1/12/2025).
Keduanya menyoroti echo chambers dan pola konflik, yang membuat opini publik mudah terprovokasi.
Konten viral di media sosial, biasanya berupa video pendek, yang diputar secara berulang dan memiliki interaksi tinggi. Biasanya video seperti itu tanpa dilengkapi konteks.
Pola ini membuat polarisasi meningkat, karena algoritma memunculkan konten sesuai emosi pengguna.
“Karena itu, penting sekali literasi digital dan sikap kritis, agar publik tidak terseret hoaks maupun isu sensitif.”
“Apalagi rendahnya tanggung jawab di ruang digital, membuat reaksi publik kerap berlebihan dan mudah tersulut,” kata Faizal.
Sedangkan faktor yang membuat konten mudah viral, katanya, dibagi menjadi dua. Ada yang bernada positif. Seperti kebahagiaan, kejutan dan kebaikan. Serta konten negatif, seperti konflik, kemarahan dan kesedihan.
Faizal menyebut, konten yang memiliki bibit viral umumnya ditonton hingga selesai, diputar berulang dan memicu interaksi tinggi.
Namun ia mengingatkan, potongan video pendek sering membuat informasi menjadi tidak utuh. Sehingga framing dapat mempengaruhi persepsi dan mempertebal echo chamber yang memicu polarisasi.
Dalam kesempatan itu, Faizal mengajak masyarakat untuk berpikir kritis dalam menyikapi viralitas. Karena rendahnya tanggung jawab di ruang digital, sering membuat orang mudah bereaksi ekstrem tanpa mempertimbangkan dampaknya.
Sementara Nasrullah, menyoroti fenomena viralitas yang semakin tidak terkontrol. Dijelaskan, karakter khas media sosial adalah hadirnya prosumer, yaitu pengguna yang sekaligus menjadi produsen dan konsumen konten.
“Opini publik di media sosial, terbentuk dari algoritma yang menciptakan echo chambers dan filter bubble.”
“Kondisi ini membuat orang merasa paling benar, karena informasi yang muncul sesuai emosi mereka. Sehingga hoaks maupun disinformasi mudah dianggap valid dan mempengaruhi persepsi publik,” sebutnya.
Nasrullah menekankan pentingnya literasi digital yang kritis, berhati-hati sebelum membagikan konten. Serta berpegang pada nilai kemanusiaan.
Pemerintah, masih katanya, juga perlu mengawal etika tanpa bersikap otoriter. Sedangkan masyarakat harus terus meningkatkan kesadaran dalam bermedia sosial. (Nurul Fitriani/Ra Indrata)




