Habiby saat mengajar di hadapan siswa SMKN 1 Wonosari. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Ketika kabut tipis turun di lereng Gunung Kawi, saat itulah nampak Tri Rahmat Habiby menaiki motornya menembus dingin pagi menuju SMKN 1 Wonosari, Kabupaten Malang.
Udara mengalir menembus tulang, jalanan sepi dan beberapa orang masih terlelap menikmati suasana pegunungan. Hamparan pegunungan yang indah seolah menjaga langkah perjuangan Habiby.
Lelaki 36 tahun ini, menjalani dua peran yang berbeda. Guru honorer di sekolah kejuruan yang baru menapak usia, dan peternak yang belakangan ini kehilangan sebagian besar ternaknya. Meski gaji tidak besar, ia memilih tetap menyeberang di dua dunia itu.
“Saya nyaman dengan suasana di sekolah. Adem,” ujar Habiby ketika ditemui Senin (24/11/2025). Kata-kata itu bukan sekadar pujian suasana. Ia menggambarkan alasan utama mengajar di SMKN 1 Wonosari, meski masa depan dan kesejahteraan sering terasa tak jelas.
Rumah Habiby terletak di Pakisaji, sekitar 30 kilometer dari sekolah. Setiap Selasa hingga Kamis, ia berangkat pukul 06.00 WIB, jauh menembus pagi bahkan sisa malam. “Jam 06.00 WIB berangkat, sekitar 45 menit sampai di sana,” jelasnya.
SMKN 1 Wonosari telah berdiri sejak 2018 dan menampung lebih dari 400 siswa. Habiby mengajar mata pelajaran kewirausahaan untuk semua jurusan: Energi Surya, Hidro dan Angin, Otomotif Kendaraan Ringan, Desain Komunikasi Visual, hingga Agribisnis Tanaman Pangan dan Ternak Ruminansia.
Ia termasuk bagian dari guru angkatan pertama sekolah yang bertahan meski sempat berada dalam fase pembangunan. Pengalaman mengajar baginya lebih dari teori. Di kelas, ia sering membawakan kisah nyata tentang dunia usaha ternak yang pernah ia jalani.
“Kalau kita guru, kebanyakan cuma ngomong ya, konsultan. Tapi kalau kita sudah berwirausaha, kita lebih profesional. Power-nya ada di kita,” tegasnya.
Habiby juga menyuarakan kritik terhadap sistem pendidikan yang menurutnya kurang memberi contoh nyata bagi generasi muda.

Suasana kandang milik Tri Rahmat Habiby saat masih berisi sejumlah sapi. Kini tinggal kenangan. (Foto: Istimewa)
“Generasi strawberry itu butuh sosok nyata, bukan sekedar narasi motivasi di atas kertas,” katanya, mengingatkan pentingnya spesialisasi dan panutan di tengah upaya membangun keahlian praktis.
Jejak panjang sang peternak terlihat jelas, dari masa SMP ketika ayahnya membawanya membeli kambing. Hingga kerap mencari dan membawa pulang sapi dengan berbagai cara.
Ia sempat meraih puncak kejayaan usaha peternakan dengan omzet ratusan juta per bulan sebelum dihantam pandemi, PMK dan kebijakan impor yang membikin sebagian besar usahanya goyah. Kini kandangannya sunyi, namun sisa-sisa kenangan dan harapan tetap tertata rapi.
“Soal ekonomi, sekarang saya tidak punya sapi. Nilai keekonomiannya terlalu mahal. Banyak pengusaha sapi yang gulung tikar. Yang tersisa hanya domba dan kambing,” ujarnya, menambahkan bahwa ia berusaha menyesuaikan langkah hidupnya.
Menyoal kompensasi, Habiby mengaku gaji honorer per jamnya sekitar Rp 50.000, dengan total mingguan sekitar Rp 700.000–Rp 750.000 setelah potongan. Meski angka itu tidak selalu cukup, ia merasakan dampak positif yang lebih luas.
“Dulu beli rokok saja nggak cukup. Sekarang Alhamdulillah sudah berhenti merokok,” cerita Habiby.
Kisah Habiby mencerminkan kontradiktif pendidikan di negara kita. Seorang guru honorer yang tetap menjaga profesionalitas di tengah realitas sistem yang kerap tidak memastikan kesejahteraan. Ia pernah mengajukan berkas PPPK paruh waktu, namun kepastian tetap menggantung.
Di lereng Gunung Kawi, Habiby tidak menganggap dirinya pahlawan. Ia tidak bermimpi menjadi pegawai tetap, namun ia terus hadir di kelas—sebagai sosok nyata bagi siswa yang menaruh harap.
Sekaligus manusia yang menjaga habitatnya sebagai peternak. Pada Hari Guru Nasional ini, kisahnya menjadi gambaran kompleks tentang pengabdian yang berjalan seiring dengan ketidakpastian ekonomi dan dinamika zaman. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)




