Oleh: Dahlan Iskan
Sakit kankernya itu mulai terasa saat orang Pasar Minggu Jakarta itu bertugas di Brunei Darussalam. Pahanya terasa nyeri. Ia tidak curiga apa pun. Tiap tahun perusahaan tempatnya bekerja mewajibkan general check-up. Hasilnya sama. Selalu tidak pernah ada gejala sakit apa pun. Apalagi check up terakhir baru tiga bulan sebelum ke Brunei.
Kian hari sakitnya kian terasa. Apalagi kalau berjalan. Ke tempat kerja pun ia sambil menyeret kakinya.
Sebulan kemudian si Pasar Minggu dapat libur. Tiba di Jakarta ia ke sinshe. Dibilang tidak ada apa-apa. Lalu ke RS Ortopedi Siaga di Pejaten, Jaksel. Difoto.
“Anda harus ke ahli tulang. Di foto ini terlihat ada masa yang tidak biasa,” ujar rumah sakit itu.
Dokter tulang memintanya ke dokter ahli paru. Ada titik aneh di paru. Kecurigaan sudah mengarah ke kanker.
Maka si Pasar Minggu diminta melakukan PET scan. Hasilnya jelas: di parunya ada kanker.
Meski sudah pasti, dokter minta izin akan melakukan biopsi. Sebagai orang cerdas ia tahu risiko dibiopsi –bisa seperti “membangunkan” sel-sel kanker untuk lebih menyebar. Tapi ia sadar kankernya sudah menyebar. Kanker paru itu sudah sampai ke tulang. Pun ke getah bening.
“Dokter sangat memerlukan biopsi. Agar lebih diketahui jenis kankernya. Itu penting untuk menentukan jenis obat yang cocok,” ujar dokter seperti ditirukan si Pasar Minggu. Ia ikuti kehendak dokter tersebut. Biopsi dilakukan.
Dari hasil biopsi itulah dokter menyodorkan obat yang cocok: tagrisso. Tergolong obat kanker paru mutakhir. Baru mendapat persetujuan FDA tahun 2015. Produsennya: AstraZeneca, Amerika. Harganya juga “baru”, baginya: Rp 40 juta. Satu tablet. Padahal sebulan 30 tablet.
Setelah sebulan minum tagrisso kankernya tidak lagi lebih menyebar. Tapi masih ada di mana-mana. Ia masih harus pakai tongkat penyangga badan. Juga masih harus mengenakan jaket berpelat baja di punggungnya.
Si Pasar Minggu terus membaca: artikel apa saja yang terkait kanker paru. Termasuk stemcell. Ahli-ahli stemcell ia datangi. Ia banding-bandingkan. Termasuk Karina dengan T-cell-nyi.
Itulah pilihan yang ia ambil untuk menghilangkan kankernya. Ia diskusi panjang dengan Karina. Ia jadi tahu: bagaimana prosesnya Karina menguasai T-cell. Yakni sejak menangani kanker ibunyi (lihat Disway: Nikmat Karina). Pun sampai bagaimana Karina mengembangkannya di Indonesia.
Karina memang sangat agresif dalam penggunaan T-cell untuk kanker. Saat melakukan stemcell biasanya kita “hanya” mendapatkan tambahan sel baru sebanyak 50 juta sampai 150 juta sel. Maksimal 200 juta. Tapi Karina memasukkan T-cell kepada pasien kanker sampai 1,2 miliar cell. Itu sekali suntikan.
Untuk si Pasar Minggu Karina menawarkan 15 kali tindakan. Artinya, 1,2 miliar cell T baru sebanyak 15 kali. Si Pasar Minggu setuju.
Setelah tiga kali tindakan T cell, ia merasa lebih sehat. Lalu ingin mempercepatnya dengan pergi ke Guangzhou. Ke salah satu rumah sakit di sana. Si Pasar Minggu sendirian ke Guangzhou. Kali pertama ke Tiongkok. Tanpa bisa bahasa Mandarin.
Di sana ia mendapat angin surga yang menyenangkan. Maka ia jalani pengobatan di sana: dilakukanlah TEACE/TACE. Pakai kateter. Lewat selangkangan.
Saya tahu TEACE. Saya pernah menjalaninya dua kali. Untuk TEACE obatnya dikirim lewat kateter. Langsung ke kanker. Tugas obat itu: memutus seluruh saluran darah yang menuju kanker. Dengan demikian kankernya mati –tidak bisa dapat makanan.
Sebulan kemudian saya diperiksa. Saluran darah ke kanker itu ternyata “nyambung” lagi. Itulah keajaiban saluran darah. Kalau diputus akan selalu mencari jalan baru.
Dokter melakukan TEACE lagi. Saluran darah baru diputus lagi. Tujuan TEACE itu, dalam kasus saya waktu itu, memang sekadar untuk buying time: jangan sampai meninggal karena kanker di saat menunggu datangnya hati orang lain yang akan menggantikan hati saya –yang penuh kanker dan sirosis. Dengan TEACE itu setidaknya kanker sudah berhenti berkembang selama satu bulan.
Dengan TEACE sekali lagi setidaknya satu bulan berikutnya kanker berhenti berkembang.
Dengan pergi ke Guangzhou berarti si Pasar Minggu menjalani tiga terapi sekaligus: obat kanker paru yang Rp 40 juta/butir, T-cell di Dr Karina, dan TAeCE di Guangzhou.
Setelah TEACE itu ia boleh pulang. Tiga minggu kemudian harus balik lagi ke Guangzhou. Di-TEACE lagi. TEACE yang pertama membuat ia tidak bisa BAB satu minggu. TEACE yang kedua membuat seluruh paha sampai selangkangannya melepuh-lepuh selepuh-lepuhnya. Pun di sekitar anus dan buah zakar. Merata. Melepuh. Sakit. Terasa mranyas panas.
Rasanya saya dulu tidak mengalami sulit BAB maupun melepuh. Mungkin karena dosisnya? Atau obat TEACE sekarang sudah berbeda dengan 18 tahun lalu? Saya tidak tahu.
Si Pasar Minggu tidak mau lagi datang ke Guangzhou. Ia meneruskan minum obat kanker paru tagrisso dan T-cell di Karina.
Tiga bulan kemudian ia kembali melakukan PET scan. Menakjubkan: kankernya tidak terlihat lagi. Sudah hilang. Bersih. Ia merasa sehat. Tidak lagi pakai kruk. Tidak pula pakai jaket besi di punggung.
Tapi paket 15 kali T-cell di Dr Karina masih tersisa tiga kali lagi. Ia akan tuntaskan. Hanya waktunya tidak lagi tiap bulan. Ia akan jalani tiap tiga bulan.
Kisah sukses sembuh dari kanker selalu heroik. Selalu saja karena ada semangat sembuh dari sang penderita. Selalu pula ada istri yang jadi pendamping setia.(Dahlan Iskan)




