MALANG POST – Suasana sejuk Kota Batu, menjadi saksi perjalanan inspiratif ratusan pelaku ekonomi kreatif dari seluruh Indonesia. Saat mengikuti City Agrokreatif Tour, salah satu rangkaian utama Indonesia Creative Cities Festival (ICCF) 2025 di Kota Apel.
Bukan sekadar tur biasa, kegiatan ini menghadirkan denyut nyata kehidupan kreatif warga Kota Batu, mulai dari kebun apel, dapur produksi, hingga pasar rakyat.
Rombongan peserta yang tergabung dalam Indonesia Creative Cities Network (ICCN) itu bergerak menuju kawasan petik apel di Desa Tulungrejo. Di sana, mereka tidak hanya menikmati pengalaman memetik buah segar langsung dari pohonnya, tetapi juga belajar tentang bagaimana koperasi lokal menjaga keberlanjutan ekonomi petani.
Di sana peserta bisa melihat, bagaimana ekonomi rakyat benar-benar jadi tulang punggung aktivitas gastronomi dan pariwisata.
Perjalanan berlanjut ke industri sari apel dan kampung tempe, dua ikon olahan hasil bumi yang telah lama jadi kebanggaan warga Kota Batu. Di kampung tempe, para peserta dibuat kagum dengan semangat pelestarian budaya pangan lokal. Apalagi, tempe tahun depan diusulkan menjadi Warisan Budaya Takbenda Dunia ke UNESCO.

“Tempe bukan sekadar makanan. Ia adalah pengetahuan pangan Nusantara yang diwariskan lintas generasi,” tutur Ketua Umum ICCN, Tubagus Fiki C. Satari.
Tempe Kota Batu memiliki ciri khas tersendiri, yakni terbuat dari campuran kacang. Di mana kacang sudah tadi lagi import seperti kedelai, namun merupakan hasil pertanian Kota Batu.
Agenda kemudian berlanjut ke Pasar Induk Among Tani, jantung perputaran hasil pertanian dan produk lokal Kota Batu. Di tempat inilah peserta menyaksikan bagaimana ekosistem pangan terjalin utuh dari petani, pedagang, hingga konsumen. Di balik hiruk pikuk transaksi, terselip filosofi bahwa gastronomi bukan sekadar soal rasa, tetapi juga soal identitas, relasi sosial dan keberlanjutan.
Rombongan juga diajak melihat replika Prasasti Sangguran, peninggalan sejarah yang menjadi saksi peradaban agraris Kota Batu sejak berabad silam. Dari situs itu, peserta seolah diajak menyadari bahwa hubungan masyarakat Kota Batu dengan tanah, air dan pangan bukanlah sesuatu yang baru, melainkan warisan panjang yang terus hidup hingga kini.
Fiki menilai, kegiatan City Agrokreatif Tour ini merupakan contoh nyata bagaimana sebuah kota bisa menunjukkan identitas kreatifnya bukan lewat panggung atau acara seremonial, melainkan melalui pelaku dan ruang hidupnya sendiri.

CICIPI: Para peserta ICCF 2025 saat mencicipi cita rasa Kota Batu, mulai dari keripik apel, tempe kacang dan lainnya. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
“ICCF ini festival yang merayakan daya hidup komunitas. Sejak 2022 kami membawa gagasan Community Power, bahwa komunitas adalah penggerak utama. Tahun 2024 bicara kolaborasi lintas kota dan pada 2025 ini kita melangkah pada keberlanjutan. Di Kota Batu, kita menyaksikan semua itu hidup dan berjalan bersama,” ujarnya.
Fiki menambahkan, Kota Batu sejatinya tak perlu menunggu pengakuan luar untuk menyebut dirinya Kota Gastronomi atau Kota Agrokreatif, sebab praktiknya sudah bisa dirasakan langsung di lapangan. Namun, jika berbicara peluang menuju Kota Gastronomi Dunia UNESCO, dibutuhkan narasi bersama dan komitmen kolektif semua pihak.
“Kota Batu punya peluang yang sangat kuat. Tapi yang paling penting bukan gelarnya, melainkan bagaimana potensi ini bisa meningkatkan kesejahteraan, membuka lapangan kerja dan membangun optimisme warga. Gastronomi bukan hanya soal makanan, tapi tentang kehidupan yang tumbuh dari tanah yang dijaga bersama,” terangnya.
Tur kreatif ini menjadi gambaran bahwa kreativitas tak hanya hidup di atas panggung festival, tetapi tumbuh di ladang, dapur produksi, pasar rakyat dan ruang budaya yang melekat dalam keseharian warga Kota Batu. (Ananto Wibowo)




