WORKSHOP KEPEMIMPINAN - Para ustazah mengikuti workshop kepemimpinan diri yang digelar UM bekerja sama dengan AR Rohmah Putri IIBS Kampus 2 di Malang, Kamis (7/11/2025). Sebanyak 86 ustazah antusias mengikuti materi Leading Yourself dan nilai-nilai Imam Al-Ghazali untuk pendidik. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Sebanyak 86 ustazah dari berbagai lembaga pendidikan mengikuti workshop kepemimpinan diri yang memadukan filosofi Ki Hajar Dewantara dengan pemikiran Imam Al-Ghazali. Kegiatan pengabdian masyarakat hasil kolaborasi Mahasiswa S3 Prodi Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang (UM) dengan AR Rohmah Putri IIBS Kampus 2 ini digelar di Malang, Kamis (7/11/2025).
Program ini merupakan implementasi dari mata kuliah Teori dan Model Kepemimpinan Pendidikan yang diampu oleh Prof. Dr. Drs. Achmad Supriyanto, M.Pd., M.Si dan Dr. Aan Fardani Ubaidillah, M.M.Pd.
Workshop bertema “Menumbuhkan Pemimpin Diri: Sinergi Nilai Ki Hajar Dewantara dan Al-Ghazali bagi Generasi Pemimpin Pendidikan Masa Depan” berlangsung intensif selama 90 menit, dari pukul 08.00 hingga 09.30 WIB. Tim pengabdian terdiri dari Ahmad Matinul Haq, M.Pd., Desy Sembiring, M.Pd., Elya I. Rahmawati, M.Pd., dan Ina Choriyati, S.Ag., M.Pd., yang merupakan mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Malang.
Leading Yourself: Memimpin Diri Sebelum Memimpin Orang Lain
Elya I. Rahmawati, M.Pd., membuka acara dengan menegaskan urgensi kepemimpinan diri bagi para pendidik. “Setiap ustazah adalah pemimpin. Kepemimpinan sejati dimulai dari kemampuan memimpin diri sendiri,” ujarnya.

Ahmad Matinul Haq, M.Pd., tampil sebagai narasumber pertama membawakan materi “Leading Yourself”. Ia mengupas konsep kepemimpinan diri dengan mengintegrasikan 5 level kepemimpinan John C. Maxwell dan trilogi Ki Hajar Dewantara.
“Pemimpin bisa siapa saja yang mampu membawa kelompok mencapai tujuan. Sedangkan pimpinan hanya sebatas jabatan. Di sekolah, ustazah adalah pemimpin yang harus proaktif, bukan reaktif,” tegas Ahmad.
Ia menjelaskan trilogi kepemimpinan Ki Hajar Dewantara yang relevan untuk pendidik: Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan memberi teladan melalui berpikir proaktif dan memiliki visi), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah membangun semangat dengan membagi peran dan menyusun proses kerja), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan melalui monitoring dan pengembangan kompetensi tim).
Strategi Naik Level dan Hadapi Lingkungan Toxic
Sesi tanya jawab berlangsung interaktif. Salah satu ustazah bertanya strategi naik dari level posisi ke level duplikasi dalam kepemimpinan.
Ahmad Matinul Haq, M.Pd., menjelaskan tiga tahap krusial. “Pertama, ciptakan hubungan baik dan rasa percaya diri dengan atau antar anggota. Kedua, ciptakan hasil aksi yang menginspirasi sehingga menumbuhkan keikutsertaan mereka. Ketiga, dari situ terciptalah pengganti kepemimpinan yang lebih baik dari aksi, relasi, dan posisi yang sudah didapatkan.”
Pertanyaan menarik lain soal cara menghadapi kelompok toxic agar kepemimpinan tetap berjalan baik.
Ahmad menjawab dengan konsep stimulus-respons. “Beda dengan hewan yang berdasar insting, manusia punya pilihan saat merespons stimulus. Ada kesadaran, imajinasi, dan hati nurani,” jelasnya.
Kunci menghadapi lingkungan toxic adalah menciptakan Circle of Influence (lingkungan yang terkendalikan) agar tidak terpengaruh Circle of Concern (lingkungan yang tak bisa dikendalikan).

“Jadi apapun stimulus yang diperoleh, direspons secara proaktif bukan reaktif. Dengan proaktif, energi tidak berkurang, malah semakin memancar. Lingkungan toxic justru terpengaruh energi positif kita,” urai Ahmad disambut anggukan peserta.
Nilai-Nilai Imam Al-Ghazali untuk Pendidik
Sesi dilanjutkan Ina Choriyati, S.Ag., M.Pd., dengan materi tentang nilai-nilai kepemimpinan Imam Al-Ghazali. Ia menekankan pentingnya pembelajaran berkelanjutan bagi pemimpin pendidikan melalui pendekatan Design Thinking.
“Imam Al-Ghazali mengajarkan bahwa seorang pendidik harus terus memperbaiki diri dan berinovasi. Kreativitas bukan bakat, tapi cara beroperasi. Ustazah harus terus belajar untuk menghadapi tantangan pendidikan masa kini,” ungkap Ina.
Ia memperkenalkan pendekatan Design Thinking yang terdiri dari lima tahap: Empathize (empati terhadap permasalahan), Define (definisi masalah secara jelas), Ideate (menghasilkan ide tanpa penilaian), Prototype (mengembangkan purwarupa solusi), dan Test (uji dengan umpan balik untuk perbaikan).
Ina memberikan contoh kasus menurunnya partisipasi guru dalam program pengembangan diri. Para peserta diminta menganalisis masalah menggunakan empathy map dan merumuskan solusi konkret berbasis Design Thinking.
Antusiasme dan Diskusi Mendalam
Desy Sembiring, M.Pd., yang memandu ice breaking di sela materi mengaku terkesan dengan antusiasme peserta. “Para ustazah sangat aktif berdiskusi dan berbagi pengalaman. Ini menunjukkan kebutuhan mereka akan peningkatan kapasitas kepemimpinan,” katanya.

Salah satu peserta mengaku tercerahkan. “Selama ini kami fokus mengajar, tapi kurang menyadari peran sebagai pemimpin. Workshop ini membuka wawasan bahwa memimpin diri sendiri itu penting sebelum memimpin orang lain,” ujar ustazah yang enggan disebut namanya.
Keunikan workshop ini terletak pada sinergi pemikiran Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan Indonesia dengan filosofi Imam Al-Ghazali, pemikir Islam klasik yang juga fokus pada pendidikan karakter dan akhlak.
“Kami ingin para ustazah memiliki kepemimpinan holistik yang menggabungkan kompetensi profesional dengan nilai-nilai luhur, baik dari khazanah lokal maupun Islam,” tandas Elya saat menutup kegiatan.
Dari kegiatan ini diharapkan para ustazah mampu menerapkan prinsip kepemimpinan diri dalam praktik sehari-hari, baik di kelas maupun dalam interaksi dengan sesama pendidik. Mereka juga diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang proaktif dalam menghadapi tantangan pendidikan.
“Output jangka panjangnya adalah lahirnya pemimpin-pemimpin pendidikan yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga memiliki integritas, visi jelas, dan kemampuan mengembangkan pemimpin-pemimpin baru,” jelas Ahmad.
Kegiatan pengabdian masyarakat ini akan didokumentasikan dan diterbitkan dalam artikel jurnal pengabdian sebagai rujukan pengembangan kepemimpinan pendidik di masa mendatang.
Tim berharap kegiatan serupa dapat dilanjutkan secara berkala untuk terus memperkuat kapasitas kepemimpinan para pendidik di Kota Malang dan sekitarnya. (*/fik/raindrata)




