MALANG POST – Penanganan sampah di tingkat desa belum sepenuhnya merata di Kota Batu. Dari 24 desa dan kelurahan, masih ada empat titik yang belum memiliki Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) aktif. Salah satunya sudah dibangun, sementara tiga lainnya masih menunggu kesiapan lahan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batu Dian Fachroni menjelaskan, empat wilayah yang belum memiliki TPS3R aktif itu adalah Desa Pesanggrahan, Desa Torongrejo, Desa Bumiaji dan Kelurahan Ngaglik. Dari empat itu, hanya Pesanggrahan yang kini sudah mulai dibangun.
“Targetnya, TPS3R Pesanggrahan bisa rampung tahun ini dan beroperasi mulai tahun depan. Sementara tiga titik lain masih menunggu kesiapan lahan dari pemerintah desa dan kelurahan,” terangnya.
Jika lahan sudah siap, lanjut dia, pembangunan akan langsung dimasukkan dalam perencanaan anggaran berikutnya. “Kami tidak ingin tergesa, karena pembangunan TPS3R harus mempertimbangkan kesiapan lokasi, akses jalan dan dukungan masyarakat,” tambahnya.
Sembari menunggu kesiapan lahan, DLH tak tinggal diam. Pemerintah terus mendorong pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat melalui pendekatan partisipatif di tingkat RW dan dusun.
“Kami bantu peralatan seperti tong komposter, juga memperkuat unit bank sampah yang sudah berjalan. Jadi meski belum ada TPS3R, pengelolaan sampah tetap bisa berputar di lingkungan warga,” katanya.

LIHAT TPS3R: Wali Kota Batu Nurochman bersama Wakil Wali Kota Batu Heli Suyanto saat melihat kondisi TPS3R di Desa Sumberejo, Kota Batu. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Langkah ini sekaligus menjadi upaya menjaga komitmen Pemkot Batu menjadikan sektor lingkungan sebagai salah satu program prioritas. Meski tahun depan, pemerintah daerah harus menghadapi pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dari pusat.
“Anggarannya memang terbatas, tapi kami tetap jalan bertahap sesuai kebutuhan wilayah. Ada yang bahkan sudah mandiri di tingkat dusun, seperti penguatan bank sampah,” katanya.
DLH mencatat, sejak program TPS3R dirintis pada 2023 lalu, jumlah titik aktif terus bertambah. Tahun lalu baru 13 titik, kini sudah mencapai 20 titik yang beroperasi penuh.
Menurut Dian, setiap desa dan kelurahan memiliki karakteristik berbeda. Ada wilayah yang padat penduduk dan menghasilkan sampah lebih banyak, ada juga yang memiliki kontur berbukit sehingga sulit menentukan lokasi pembangunan.
“Topografi, jumlah penduduk dan jenis sampahnya beda-beda. Jadi kami harus rumuskan ulang kebutuhan bantuan operasional di setiap lokasi,” jelasnya.
Untuk satu pembangunan dan aktivasi TPS3R, Pemkot Batu menyiapkan anggaran sekitar Rp200 juta. Tahun ini, DLH juga tengah menyusun roadmap detail agar pembangunan ke depan lebih tepat sasaran dan sesuai dengan kondisi di lapangan.
Tak hanya TPS3R, Pemkot Batu juga telah meralisasikan terobosan baru dalam pengelolaan sampah organik. Empat unit big composter selesai dibangun untuk mengolah sampah sisa makanan, ranting dan daun yang selama ini sering berakhir di pembakaran terbuka.
“Dengan big composter ini, sampah organik akan diolah menjadi kompos. Jadi, yang biasanya jadi masalah, justru bisa jadi manfaat bagi petani,” kata Dian.
Ke depan, Pemkot Batu berharap seluruh desa dan kelurahan dapat memiliki sistem pengolahan sampah mandiri. Tidak hanya mengurangi volume sampah ke TPA, tapi juga menciptakan nilai ekonomi baru di tingkat masyarakat. (Ananto Wibowo)




