
MALANG POST – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur (Jatim), sudah menganggarkan Rp7,1 triliun untuk mendukung pendidikan. Termasuk di jenjang SMA/SMK, yang memang menjadi kewenangan langsung Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur.
Dukungan pendidikan tersebut, diperkuat dengan Pergub Jatim nomor 33 tahun 2019, tentang BPOPP. Disebutkan, SPP atau apapun istilahnya bagi SMAN atau SMKN di Jawa Timur, sudah dibebaskan.
“Kami juga tekankan kepada Komite Sekolah dimanapun berada, dilarang melakukan pungutan atau tarikan ke orang tua siswa.”
“Kalau pun ada sumbangan atau bantuan, tidak boleh sampai menentukan monimal dan tidak boleh ada batasan waktu tertentu. Itu sesuai dengan Permendikbud nomor 75 tahun 2016,” jelas anggota Komisi D DPRD Kota Malang, Ginanjar Yoni Wardoyo, kepada Malang Post, Minggu (19/10/2025).
Komentar itu menanggapi masih adanya pungutan di SMKN 7 Kota Malang. Meski kalangan Komite Sekolah menyebut tarikan Rp75 ribu perbulan, bukan pungutan atau tarikan. Melainkan sumbangan dan sudah atas persetujuan wali murid.
“Kan sudah ada dukungan anggaran dari Pemprov. Jadi jangan lagi ada istilah SPP atau lainnya. Komite Sekolah juga tidak boleh melakukan pungutan lagi ke orang tua siswa,” tandasnya.
Kalau kemudian Komite Sekolah masih memungut dana dari wali murid, Ginanjar memastikan tindakan itu sebagai bentuk pelanggaran aturan.
Pihaknya meminta Komite Sekolah lebih berhati-hati dan memahami regulasi tentang sumbangan. Yang tidak boleh ditentukan nominal dan batasan waktu.
“Hasil sumbangan darimana saja dan peruntukkannya untuk apa saja, harus dilaporkan kepada wali murid dan pihak lain yang berhak menerima laporan, secara berkala, jelas dan transparan,” tandasnya.
Disinggung kewenangan SMAN/SMKN ada di Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, pihaknya memahami akan hal itu. Tapi secara kependudukan, di SMKN 7 Kota Malang, mayoritas berasal dari Kota Malang yang menjadi konstituennya. Jadi DPRD Kota Malang punya kewajiban untuk mengedukasi warganya.
“Kami harus memberikan edukasi dan pemahaman terkait pendidikan, tata cara pengelolaan maupun penggalian dana dari masyarakat, di luar APBN dan APBD Provinsi Jawa Timur,” tegas Ginanjar.

Anggota Komisi D DPRD Kota Malang, Ginanjar Yoni Wardoyo. (Foto: Istimewa)
Penegasan yang sama disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Disampaikan, pengumpulan dana dari orang tua siswa, dengan dalih sumbangan sukarela berdasarkan kesepakatan bersama, hanyalah modus dari bentuk tarikan atau pungutan.
“Apalagi sampai ada nominal tertentu, memiliki keterikatan waktu setiap bulan dan memiliki konsekuensi jika tidak membayar. Itu semua adalah bentuk pungutan atau tarikan yang melanggar peraturan,” tandas Ubaid Matraji.
Pihaknya mencontohkan seperti kasus yang terjadi di SMKN 7 Kota Malang. Komite Sekolah menarik pungutan Rp75 ribu setiap bulan kepada wali murid. Ditambah wali murid tidak boleh mengambil rapor karena belum membayar pungutan. Jumlahnya diakumulasikan sampai dua tahun. Atau Rp75 ribu x 24 bulan, hingga totalnya mencapai Rp3,8 juta.
“Artinya, ada kewajiban harus membayar. Serta ada ancaman jika tidak membayar. Itu namanya pungutan atau tarikan. Bukan sumbangan sukarela yang terserah kepada wali murid mau memberi atau tidak.”
“Kalau namanya sumbangan sukarela, tidak ada konsekuensi apapun. Mau menyumbang atau tidak, terserah wali murid dan tidak ada tekanan,” jelasnya.
Itulah sebabnya, Ubaid Matraji berharap kepada Pemprov Jatim maupun Aparat Penegak Hukum (APH), tidak melakukan pembiaran kepada sekolah yang masih melakukan pungutan kepada orang tua siswa.
Apalagi ditengarai, dalam kasus pungutan yang dilakukan Komite SMKN 7 Kota Malang, ada unsur pidana korupsi. Lantaran patut diduga akan menguntungkan diri sendiri atau kelompok di dalamnya.
“Karena seluruh kebutuhan sekolah negeri, sudah ada BOSNAS, BOSDA atau BPOPP dari APBD Provinsi. Jadi semuanya sudah dikalkulasi dengan cermat oleh pemerintah.”
“Kalau sekarang Komite Sekolah berdalih masih banyak perencanaan yang belum tercover, kami justru ingin tahu model perencanaan yang dikonsep untuk rencana kegiatan dan anggaran sekolahnya (RKAS) itu bagaimana,” tandasnya.
Pihaknya juga menduga, RKAS itu dibuat dengan mengada-ada serta dipaksakan. Agar ada dalih untuk menarik sumbangan dari wali murid. Padahal bisa jadi, rencana itu bukannya sesuatu yang mendesak bagi sekolah.
“Kami berharap pemerintah ikut bertanggungjawab. Kalau ada Kepala Sekolah atau Komite Sekolah yang terbukti melakukan pungutan liar, harus disanksi tegas,” pungkasnya. (Iwan Irawan/Ra Indrata)