
MALANG POST – Masalah sampah pasca event di Kabupaten Malang, masih sering dikeluhkan warga. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) mencatat, ada peningkatan volume sampah dari berbagai kegiatan, termasuk karnaval di Gampingan pekan lalu, yang menghasilkan sekitar 45 meter kubik sampah.
Hal itu disampaikan Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) DLH Kabupaten Malang, Dedik Tri Basuki, saat menjadi narasumber talk show di program Idjen Talk. Yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Kamis (16/10/2025).
Dedik mendorong penyelenggara event, bisa proaktif dalam mengedukasi dan mengawasi pengelolaan sampah selama event berlangsung.
“DLH hanya mendukung dari sisi pengangkutan. Seperti pada karnaval di Gampingan, petugas DLH merasa kewalahan keterbatasan personel karena harusnya butuh kesiapan lebih,” katanya.
Menurut Dedik, kesadaran penonton juga turut menjadi faktor. Banyak pengunjung yang tidak memperhatikan sampah mereka sendiri, meski mereka sudah menikmati acara.
Dedik menilai, permasalahan sampah menumpuk berdampak langsung pada kenyamanan di lingkungan sekitar.
Hal senada disanpaikan Direktur Element EO, Ananta Wikrama Tungga Dewa. Sebagai penyelenggara event, katanya, pengelolaan sampah harus masuk dalam perencanaan awal setiap penyelenggara event, bukan jadi urusan setelah acara selesai.
Pihaknya selalu memetakan titik-titik rawan sampah sebelum event dimulai. Trashbag disiapkan, tim sweeping diterjunkan secara berkala, hingga koordinasi dengan DLH juga dilakukan sejak awal.
“Tujuannya agar sampah tidak dibiarkan menumpuk dan mengganggu lingkungan sekitar terlalu lama,” jelasnya.
Namun Ananta mengakui, awareness masyarakat masih menjadi tantangan. Banyak yang belum terlalu peduli dengan sampah peribadi, terutama di event besar yang melibatkan ribuan orang.
Dia juga berharap semua pelaku penyelenggara event, bisa menaruh perhatian lebih pada pengelolaan sampah.
Sementara itu, dosen Sosiologi Universitas Negeri Malang, Abdul Kodir, Sosio., M.Sosio., Ph.D menyoroti fenomena sampah yang muncul setelah event, tidak bisa dilihat hanya dari sisi kebersihan.
Dia menilai budaya dan kesadaran sosial masyarakat, menjadi kunci utama dari permasalahan itu.
“Banyak orang hadir ke event hanya sebagai penikmat, sehingga setelah acara sampah dibiarkan begitu saja,” ujarnya.
Hal itu menunjukkan tidak ada sense of belonging, bahwa ruang publik belum dianggap sebagai bagian dari ruang sosial yang harus dijaga bersama.
Kodir berharap, ke depannya edukasi soal pentingnya rasa memiliki terhadap ruang publik perlu diperkuat.
Tidak cukup hanya pada imbauan saat event berlangsung, tapi harus menjadi bagian dari edukasi sosial yang dimulai sejak dini. (Faricha Umami/Ra Indrata)