
MALANG POST – Menjelang seperempat abad berdirinya Kota Batu sebagai daerah otonom, para tokoh pendiri kota ini kembali berkumpul. Mereka tak sekadar bernostalgia, tapi juga melakukan refleksi kritis terhadap arah pembangunan kota apel yang dinilai mulai kehilangan jati diri.
Momen itu terwujud dalam sarasehan bertajuk ‘Refleksi Menuju Seperempat Abad Kota Batu Sebagai Daerah Otonom’, yang digelar oleh Kelompok Kerja (Pokja) Peningkatan Status Kota Batu di Graha Pancasila, Balai Kota Among Tani, Selasa (14/10/2025).
Acara tersebut menghadirkan sejumlah tokoh lintas generasi dan akademisi. Di antaranya Prof. Dr. Hariyono, Rektor Universitas Negeri Malang; Dr. Slamet Hendro Kusumo, Ketua Advokasi Pokja; serta Dr. Slamet Muchsin, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang (Unisma) yang bertindak sebagai moderator.
Tak hanya para pendiri dan akademisi, Wali Kota Batu Nurochman dan Wakil Wali Kota Batu Heli Suyanto serta jajarab Forkopimda Kota Bagu juga hadir langsung, bersama jajaran pejabat Pemkot Batu. Momentum ini pun menjadi ajang dialog terbuka antara pemerintah dan para perintis kota jelang peringatan HUT ke 24 Kota Batu.
Ketua panitia, Drs. Sumiantoro mengingatkan pentingnya menengok kembali semangat perjuangan saat memperjuangkan status otonomi Kota Batu pada akhir 1990-an.
“Acara ini bukan sekadar peringatan ulang tahun. Ini momen refleksi. Kita ingin mengingatkan kembali semangat awal berdirinya Kota Batu, sebuah perjuangan yang dilandasi cinta pada daerah dan tekad untuk membangun dengan berpihak pada masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, Pokja harus selalu menjaga watak kritisnya. “Saat dulu peningkatan status Kota Batu, kami ditanya apakah siap bertanggung jawab. Kami siap, dan kami ingin terus menjaga Kota Batu ke depan,” tambahnya.
Ketua Presidium Pokja Peningkatan Status Kota Batu, Andrek Prana menyampaikan apresiasi kepada para pemimpin Kota Batu dari masa ke masa, mulai Imam Kabul, Eddy Rumpoko, Dewanti Rumpoko, hingga Aries Agung Paewai yang dinilai telah membawa kota ini berkembang pesat.

Wali Kota Batu, Nurochman. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Namun di sisi lain, Andrek juga menyampaikan kegelisahan. Ia menilai arah pembangunan Kota Batu kini mulai kehilangan ruh awal yang dulu menjadi dasar pendirian kota.
“Kota Batu sekarang ini seolah tidak punya konsep yang jelas. Padahal sejak awal kami sudah membawa satu konsep kuat ‘Batu Kota Bernuansa Desa’. Konsep ini yang dulu menjadi ruh perjuangan kami,” ujarnya.
Andrek menyebut, kini wajah Kota Batu mulai berubah drastis. Bangunan tinggi menjamur, kawasan beton meluas dan ruang hijau kian terdesak. “Kami tidak menolak pembangunan, tapi kalau semuanya dibiarkan tanpa arah, Kota Batu bisa kehilangan karakternya,” tambahnya.
Ia bahkan menyebut hasil kajian analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) yang dilakukan Pokja menunjukkan bahwa Batu belum memiliki konsep pembangunan yang permanen dan berkelanjutan.
“Akibatnya, kebijakan pembangunan sering berjalan sporadis. Tidak ada pegangan jangka panjang. Padahal kalau punya konsep kuat, investor yang masuk pun akan menyesuaikan diri, bukan seenaknya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Andrek juga mengulas kembali sejarah perjuangan Pokja dua dekade lalu. Ia menegaskan bahwa perjuangan peningkatan status Kota Batu bukan sekadar unjuk rasa dan audiensi ke pusat, melainkan juga melalui penyusunan konsep pembangunan yang matang.
“Dulu pemerintah pusat bilang, kalau Pokja bisa merumuskan konsep yang realistis dan berpihak pada masyarakat, maka peluang peningkatan status akan dibuka. Kami pun membuat konsep yang sederhana tapi kuat, mudah dipahami pemerintah, mudah diterapkan masyarakat dan bisa melindungi karakter Batu,” ujarnya.
Konsep itulah yang kemudian dibawa ke DPR RI dan menjadi dasar pertimbangan lahirnya Kota Batu sebagai daerah otonom pada 17 Oktober 2001.
“Jadi kami ini tidak asal. Kami datang membawa konsep, kami presentasikan ke pusat. Akhirnya mereka paham dan setuju bahwa Batu memang layak menjadi kota,” tuturnya.

Ketua Presidium Pokja Peningkatan Status Kota Batu, Andrek Prana. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Andrek berharap, konsep yang lahir dari semangat itu bisa kembali dipertimbangkan dan dijalankan. “Siapapun wali kotanya nanti, Batu butuh arah yang jelas, konsep yang menjadi pedoman jangka panjang,” katanya.
“Kita tidak boleh abai terhadap lingkungan. Kota Batu adalah hulu Sungai Brantas, yang menghidupi 17 kabupaten/kota di Jawa Timur. Jadi menjaga Batu sama dengan menjaga kehidupan banyak orang,” tambahnya.
Sementara, Wali Kota Nurochman memberikan apresiasi kepada para tokoh Pokja yang telah meletakkan fondasi berdirinya Kota Batu.
“Kita semua berhutang budi kepada para pendahulu. Ada keringat, mungkin juga air mata dan tenaga yang mereka curahkan untuk menjadikan Batu berdiri sebagai kota mandiri. Karena itu, kita wajib menjaga warisan itu,” katanya.
Ia sepakat bahwa refleksi semacam ini penting agar arah pembangunan tidak melenceng dari nilai-nilai dasar pendirian Kota Batu. “Mari kita jaga jati diri Kota Batu yang berpijak pada budaya dan karakter masyarakatnya. Inovasi boleh, tapi jangan kehilangan akar,” tuturnya.
Cak Nur juga menyoroti pentingnya menjaga ruang terbuka hijau, sempadan jalan, serta sumber mata air yang menjadi penopang kehidupan masyarakat Kota Batu dan wilayah sekitarnya.
Ia juga mengajak semua pihak, termasuk Pokja, akademisi dan masyarakat, untuk terus berkolaborasi membangun kota ini dengan semangat positif. “Jadilah orang yang mengendorse Kota Batu. Bisa lewat tindakan, tutur kata, maupun media sosial. Karena Kota Batu ini milik kita bersama,” tutupnya. (Adv/Ananto Wibowo)