
MALANG POST – Museum Musik Indonesia (MMI) menyuguhkan koleksi musik interaktif, untuk bisa menghidupkan minat pengunjung. Agar memiliki pengalaman berbeda dibandingkan museum pada umumnya.
Di MMI yang berada di bawah satu atap dengan Gedung Kesenian Cendrawasih ini, memiliki koleksi alat musik dan kaset, yang bisa dimainkan dan disentuh langsung oleh pengunjung.
Hal itu disampaikan Ketua Museum Musik Indonesia (MMI), Ratna Sakti Wulandari, saat menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk. Yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Kamis (9/10/2025).
“Pengelola museum, memperlakukan pengunjung layaknya tamu di rumah sendiri. Disambut hangat dan diajak berdiskusi soal musik.”
“Dengan pendekatan itu, MMI tidak hanya menjadi ruang pajang benda bersejarah. Tapi juga menjadi ruang interaksi budaya yang hidup dan menarik bagi pengunjung,” katanya.
Namun, imbuhnya, saat ini MMI masih menutup kunjungan umum sejak Maret 2025, karena tengah fokus menyelenggarakan event dan mempersiapkan proses pindahan ke lokasi baru.
Meski begitu, pada 2024 MMI justru mencatat tingginya minat dari pengunjung luar kota. Termasuk pelajar dan mahasiswa bahkan dari luar Pulau Jawa.
Sedangkan pada dua museum yang berada di bawah pengelolaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang, yakni Museum Mpu Purwa dan Museum Pendidikan, mencatat lebih dari 13 ribu pengunjung hingga akhir September 2025.
Angka itu menunjukkan tren positif, jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 15 ribu kunjungan.
Pamong Budaya Ahli Pertama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang Nurman Candra Setiansyah menyebut, peningkatan itu didukung oleh berbagai event edukatif dan kebudayaan yang rutin digelar.
“Mayoritas pengunjung berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa dan tambahan wisatawan luar kota hingga peneliti,” jelasnya.
Kata Nurman, di Museum Mpu Purwa tidak hanya menyimpan koleksi arca. Tapi menjadi ruang multifungsi untuk event budaya.
“Tahun depan, Museum Pendidikan juga direncanakan akan lebih dimaksimalkan sebagai destinasi sejarah dan edukasi. Sebagai upaya menjaga relevansi dan daya tarik bagi semua kalangan,” kata Candra.
Sementara itu, dosen Sejarah Universitas Negeri Malang, Drs Ismail Lutfi MA., menilai, masih rendahnya minat terhadap museum di Indonesia, bukan hal baru. Karena museum masih dipandang sebagai tempat menyimpan benda lama. Bukan sebagai ruang belajar dan identitas kota.
Padahal jika dikelola dengan pendekatan yang kreatif, museum bisa menjadi magnet edukasi yang kuat.
Ismail menyarankan, agar storyline museum ditata menarik, ruang display disetting secara dinamis dan koleksi dipamerkan secara bergilir, agar pengunjung selalu penasaran untuk datang kembali.
“Di era digital ini, tour virtual dan digitalisasi koleksi juga perlu untuk diadakan. Karena museum tidak harus selalu ramai pengunjung, tapi harus punya intensitas kunjungan yang tinggi. Artinya pengunjung datang bukan hanya sekali,” sebutnya.
Manajemen pengunjung yang baik dan kampanye kesadaran sejak dini soal pentingnya keberadaan museum, menjadi kunci agar museum benar-benar hadir di hati masyarakat.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Malang, Suryadi. Menurutnya, museum seharusnya bukan sekadar etalase usang. Tapi harus menjadi jantung warisan budaya yang hidup di tengah kota. Sehingga Pemkot Malang harus lebih serius mengelola museum sebagai narasi sejarah.
“Kota Malang sudah punya landasan hukum berupa Perda Cagar Budaya No 1 Tahun 2018, yang bisa menjadi pijakan untuk mengembangkan museum sebagai wahana edukasi dan pelestarian.”
“Sayangnya, tantangan justru muncul dari keterbatasan anggaran yang dinilai belum sebanding dengan kebutuhan revitalisasi dan promosi museum secara menyeluruh,” katanya.
DPRD pun, kata Suryadi, aktif melakukan studi banding ke daerah lain seperti Yogyakarta untuk mencari model pengelolaan yang efektif.
Pihaknya berharap, ke depan ada sinergi antara regulasi dan fasilitasi dari pemerintah, agar dapat mendorong museum di Kota Malang memenuhi standar nasional. (Faricha Umami/Ra Indrata)