
MALANG POST – Upaya Pemkot Batu menata sampah lewat program Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) belum sepenuhnya merata. Dari total 24 desa dan kelurahan, baru 20 titik yang bisa mengolah sampah mandiri.
Empat sisanya, yakni Desa Pesanggrahan, Desa Torongrejo, Desa Bumiaji dan Kelurahan Ngaglik, masih menunggu giliran. Pemkot Batu berjanji segera membangun TPS3R di empat titik tersebut.
Namun, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batu, Dian Fachroni menyampaikan, prosesnya memang tidak bisa serentak. Sejak dirintis 2023 lalu, pembangunan dan aktivasi dilakukan bertahap.
“Tahun lalu masih 13 TPS3R yang aktif. Sekarang sudah 20 titik. Yang empat lagi dalam tahap persiapan,” jelasnya, Minggu (28/9/2025).
Menurut Dian, tiap desa dan kelurahan memiliki kebutuhan berbeda. Topografi wilayah, jumlah penduduk, serta kompleksitas sampah tidak sama. Itulah yang membuat anggaran bantuan operasional juga harus dirumuskan ulang.
Selama ini, Pemkot menggelontorkan Rp200 juta untuk pembangunan dan aktivasi satu TPS3R. ‘Kami sedang menyusun roadmap mendetail, supaya kebutuhan di lapangan benar-benar terjawab,” tegasnya.

LIHAT TPS3R: Wali Kota Batu Nurochman bersama Wakil Wali Kota Batu Heli Suyanto saat melihat kondisi TPS3R di Desa Sumberejo, Kota Batu. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Sembari menunggu aktivasi TPS 3R merata, Pemkot Batu juga menggeber terobosan baru, membangun empat sel big composter berkapasitas total 16 ton per hari. Dengan cara ini, sampah organik seperti sisa makanan, ranting dan daun yang biasanya hanya dibakar, kini diolah jadi kompos.
Wali Kota Batu, Nurochman menyatakan, selama ini, semua jenis sampah baik organik maupun anorganik diselesaikan dengan cara dibakar di insinerator. Padahal, volume sampah organik itu jauh lebih banyak.
“Volume sampah organik 60:40 dari total timbulan sampah,” kata Cak Nur, sapaan Nurochman.
Dengan adanya big composter, Pemkot Batu mulai mengubah pendekatan. Sampah organik seperti sisa makanan, ranting dan daun kini dipilah untuk diolah menjadi kompos. Sementara sampah nonorganik seperti plastik, logam dan kaca tetap ditangani insinerator.
Tak hanya itu, pengomposan ini didukung dengan teknologi sederhana tapi efektif, eco enzyme. Cairan fermentasi berbasis limbah dapur ini membantu proses penguraian sampah secara alami tanpa bau menyengat dan tanpa asap mengepul.
“Meski begitu, sebelum digunakan, kompos hasilnya harus diuji laboratorium,” jelas Cak Nur.
Cak Nur optimistis, kalau proyek ini konsisten dijalankan, Kota Batu bisa jadi percontohan nasional dalam pengelolaan sampah organik.
“Kalau ini berhasil, usia TPA bisa lebih panjang, lingkungan lebih sehat dan kita bisa sumbang pupuk untuk pertanian” urainya.
Rencananya, kompos hasil pengolahan bisa dipanen tiga bulan sekali. Nantinya, kompos ini akan dimanfaatkan untuk menyuburkan lahan pertanian, kebun-kebun apel dan program penghijauan kota.
Meski begitu, Cak Nur menyadari empat sel big composter saja belum cukup. Ke depan, Pemkot Batu berencana menambah unit baru dan mengaktifkan kembali rumah kompos di TPS3R tingkat desa, kelurahan dan dusun. (Ananto Wibowo)