
BRANKAS: Simulasi tempat penyimpanan emas batangan, yang berada di bekas brankas saat MUBI masih dipakai oleh De Javasche Bank. (Foto: Ra Indrata/Malang Post)
MALANG POST – Bank Indonesia yang menjadi otoritas moneter tertinggi di Indonesia, ternyata bisa dimiliki Pemerintah Indonesia, setelah membeli 97 saham De Javasche Bank (DJB), yang pada 1953 masih dikuasai oleh Belanda.
DJB didirikan pada 1828 oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan hak monopoli untuk mencetak dan mengedarkan uang. Bank ini berfungsi sebagai bank sirkulasi dan bertanggung jawab dalam menjaga stabilitas mata uang Gulden Belanda di wilayah jajahan.
Pemilik De Javasche Bank mau menjual ke Pemerintah Indonesia, karena penawarannya 20 persen di atas pasar. Sebelum akhirnya De Javasche Bank dibubarkan pada 30 Juni 1953.
Sehari berselang, tepatnya pada 1 Juli 1953, Bank Indonesia ditetapkan sebagai bank sentral, dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank Indonesia yang pertama.
Penggalan sejarah itu, hanya salah satu dari sekian banyak koleksi yang dimiliki Museum Bank Indonesia. Sebuah museum yang kini menjadi salah satu destinasi wisata edukatif yang populer di Jakarta.
Berlokasi strategis di kawasan Kota Tua, museum ini menawarkan pengalaman yang unik. Memadukan memadukan kekayaan sejarah dengan teknologi modern, hingga menjadi tujuan utama bagi mereka yang tertarik dengan sejarah, ekonomi dan dunia perbankan.
Bangunan Museum Bank Indonesia, memiliki sejarah panjang yang menarik. Awalnya, gedung yang dibangun pada 1828, berfungsi sebagai kantor pusat De Javasche Bank (DJB), yang merupakan cikal bakal Bank Indonesia.
Arsitekturnya yang bergaya Neo-klasik, dengan sentuhan ornamen lokal, memberikan kesan megah dan artistik.
Setelah Indonesia merdeka, gedung ini dinasionalisasi dan menjadi Gedung Bank Indonesia Kota, sebelum akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah.
Museum ini secara resmi dibuka untuk umum pada 15 Desember 2006. Tapi baru diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli 2009.
“Tujuannya untuk menjadi wahana informasi, tentang peran dan kebijakan Bank Sentral Indonesia dari masa ke masa. Serta sebagai sarana edukasi dan rekreasi bagi masyarakat,” kata Trie Kanthi Wigati, Edukator pada Museum Bank Indonesia (MUBI), yang mendampingi rombongan dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Malang, saat berkunjung pada Selasa (23/9/2025) kemarin.

EDUKATOR: Pemandu wisata, Trie Kanthi Wigati, menunjukkan kronologis sejarah lahirnya Bank Indonesia. (Foto: Ra Indrata/Malang Post)
Memasuki MUBI, Pengunjung akan diajak menjelajahi perjalanan perbankan dan moneter di Indonesia. Mulai dari masa kerajaan-kerajaan kuno hingga era modern.
Beberapa koleksi menarik yang dapat ditemukan seperti koleksi mata uang kuno (Numismatika). Pengunjung bisa melihat berbagai jenis mata uang. Mulai dari uang logam dan uang kertas dari masa kerajaan Hindu-Buddha (seperti uang Ma dari Kerajaan Jenggala), masa penjajahan (VOC, Hindia Belanda, dan Jepang), hingga mata uang yang digunakan setelah kemerdekaan. Termasuk uang Oeang Republik Indonesia (ORI).
“Ada yang tahu nama Rupiah itu darimana? Yang tahu akan mendapat souvenir dari MUBI,” tanya Kanthi kepada sekitar 30 ‘Arema’ yang diajak keliling di museum yang terletak di Jalan Pintu Besar Utara No. 3, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat.
Ternyata, nama Rupiah berasal dari kata ‘rupiya’ dari bahasa Sanskerta yang berarti perak. Bahkan nama itu juga menjadi dasar mata uang India, Rupee.
“Karena itu di Jakarta, atau di beberapa daerah lain, sering ada sebutan: “uangku cuma tinggal 500 perak.” Itu sebenarnya merujuk pada kata ganti untuk Rupiah,” tandasnya.
Padahal sebelum Rupiah dikenal, wilayah Nusantara telah menggunakan berbagai macam alat tukar. Di masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, alat tukar yang digunakan mulai dari manik-manik, butiran emas, hingga koin-koin dari bahan perak dan emas.
Koin-koin ini, seringkali dicetak dengan cap-cap khusus yang menunjukkan asal usulnya. Seperti koin bergambar pohon beringin atau koin dari Kerajaan Jenggala.
Kemudian di abad ke-17, saat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) datang dan berkuasa, mereka memperkenalkan mata uang mereka sendiri. Gulden Belanda. Yang terus digunakan selama masa penjajahan Belanda. Bahkan setelah VOC bangkrut pun, pemerintah Hindia Belanda tetap menggunakan Gulden sebagai mata uang resmi.

METAMORFOSA: Dalam MUBI juga dipajang logo Bank Indonesia dari masa ke masa, hingga yang dipakai saat ini. (Foto: Ra Indrata/Malang Post)
Selama pendudukan Jepang (1942-1945), Gulden Belanda ditarik. Diganti dengan mata uang yang dicetak pemerintah Jepang. Dikenal sebagai Gulden Jepang. Namun nilai tukarnya anjlok drastis menjelang akhir perang, menyebabkan hiperinflasi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia justru punya tiga mata uang yang beredar: Gulden Belanda, Gulden Jepang, dan Gulden NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang dibawa kembali oleh Belanda. Kondisi ini menciptakan kekacauan ekonomi.
Untuk menegaskan kedaulatan ekonomi, pemerintah Indonesia pada 26 Oktober 1946, mencetak mata uang sendiri. Yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI). Sekaligus sebagai simbol perlawanan terhadap upaya Belanda, yang ingin menguasai kembali Indonesia. Karena peredaran ORI, berarti Indonesia memiliki mata uang yang sah dan merdeka.
ORI menampilkan gambar Presiden Soekarno dan memiliki pecahan dari 1 sen hingga Rp100. Namun, peredarannya sangat terbatas karena situasi perang yang membuat pemerintah sulit mendistribusikannya ke seluruh wilayah.
Tetapi justru kata ‘Rupiah’ yang ada dalam lembaran mata uang, mulai dipakai saat pemerintahan Jepang. Yakni dengan seri Dai Nippon Teikoku Seihu.
Ketika itulah, Jepang mencetak uang kertas dengan nama mereka sendiri dan mulai menggunakan sebutan ‘Rupiah’ sebagai nominalnya.
Meskipun namanya Rupiah, mata uang ini masih merupakan bagian dari kebijakan ekonomi Jepang dan tidak memiliki hubungan dengan mata uang Republik Indonesia yang baru akan lahir setelah proklamasi kemerdekaan.
Sedangkan secara etimologi, kata ‘uang’ diperkirakan berasal dari bahasa Melayu kuno, yang kemudian diserap dan digunakan secara luas di wilayah Nusantara.
Beberapa ahli bahasa juga mengaitkannya dengan kata dalam bahasa Jawa dan Sanskerta. Meskipun asal-usul pastinya tidak ada yang bisa memastikan seratus persen.

RUANG BOS: Salah satu bagian yang ada di dalam MUBI adalah ruang kerja pimpinan DJB. Seluruh furnitur hingga dekorasi ruangan dijaga untuk tidak berubah sejak dipakai aktivitas era DJB. (Foto: Ra Indrata/Malang Post)
Ada juga teori yang mengaitkan kata ‘uang’ dengan kepingan logam yang digunakan sebagai alat tukar.
Secara harfiah, ‘uang’ bisa merujuk pada kepingan logam atau koin yang memiliki nilai. Teori lain menyebutkan, kata ini adalah evolusi dari istilah-istilah yang lebih kuno untuk menyebut alat tukar.
Di museum yang dibuka hari Selasa hingga Minggu, mulai pukul 08.00 hingga 15.30 WIB, dengan tiket hanya Rp5.000 per orang, juga memamerkan peralatan perbankan kuno.
Yakni berbagai peralatan yang digunakan dalam operasional perbankan di masa lalu. Serta memberikan gambaran evolusi teknologi perbankan dari masa ke masa.
Juga terdapat berbagai dokumen penting, yang berkaitan dengan sejarah Bank Indonesia dan kebijakan moneter. Termasuk surat-surat terkait pendirian De Javasche Bank.
Di sisi yang lain, museum yang berada di dekat Stasiun Jakarta Kota itu, juga memanfaatkan teknologi mutakhir seperti diorama, panel interaktif dan video digital untuk membuat narasi sejarah menjadi lebih hidup dan mudah dipahami, terutama bagi generasi muda.
Yang sangat menarik lagi, di MUBI para pengunjung juga bisa menyaksikan secara langsung emas batangan, dengan masing-masing memiliki berat 13,5 kilogram.
Meski anda tidak akan menemukan emas batangan asli yang dipamerkan secara terbuka. Tetapi paling tidak, museum ini memiliki sebuah area yang menyimulasikan brankas atau tempat penyimpanan emas.
Diorama ini menjadi bagian dari koleksi museum yang menunjukkan peran Bank Indonesia dalam mengelola cadangan devisa, termasuk emas, sebagai salah satu aset negara.
Karena museum ini berlokasi di area Kota Tua Jakarta yang ikonik, setelah selesai berkeliling museum, pengunjung bisa langsung melanjutkan petualangan ke tempat-tempat menarik lain di sekitarnya. Seperti Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah), Museum Wayang, atau sekadar menikmati suasana kafe-kafe klasik. (Ra Indrata)