
Presiden Prabowo Subianto menyaksikan parade militer Tiongkok di sebelah Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Tiongkok Xi Jinping.--
Oleh: Dahlan Iskan
Ini memang istimewa. Hanya 10 tahun sekali: parade besar-besaran militer Tiongkok. Di Beijing. Tanggal 3 September kemarin. Presiden Prabowo pun –yang sudah membatalkan kunjungan ke Tiongkok– akhirnya berangkat juga ke sana. Tentu setelah kondisi dalam negeri kembali normal.
Prabowo ke Beijing tidak hanya untuk parade itu –meski KTT di Tianjin sudah selesai. Masih banyak pimpinan negara lain yang bisa bertemu.
Kerusuhan di berbagai kota di Indonesialah yang membuat Prabowo memutuskan tidak ikut KTT yang dihadiri Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri India Narendra Modi.
Parade 10 tahun sekali itu untuk memperingati hari kemenangan Tiongkok atas Jepang, 80 tahun lalu. Jepang sudah konflik dengan Tiongkok sejak tahun 1937 –lima tahun lebih awal dari Jepang masuk ke Indonesia.
Yang selalu jadi pertanyaan saya adalah: kenapa tahun 1937 tentara Jepang sudah sampai di Beijing. Bukankah Beijing jauh dari laut. Apakah tentara Jepang tidak dihadang di daerah pantai.
Ternyata tujuh tahun sebelumnya, Jepang sudah menyerang daerah pantai Tiongkok. Di bagian utara. Lalu menguasai wilayah Manchuria –sekarang meliputi tiga provinsi di Dongbei: Liaoning, Jilin, dan Heilongjiang.
Jepang sempat membentuk pemerintahan boneka di Manchuria. Dari sini Jepang dengan mudah masuk sampai ke Beijing –bikin batalyon di dekat jembatan Marcopolo –ibarat kalau Jakarta di jembatan Tangerang Selatan.
Peringatan tanggal 3 September ini unik: kenapa bukan 15 Agustus. Kenapa bukan 2 September?

Prabowo Subianto menghadiri Perayaan 80 Tahun Kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok yang digelar di Tian’anmen, Beijing, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Rabu, 3 September 2025. (Foto: Sekretariat Presiden)
Titik tolak kemenangan Tiongkok sebenarnya 15 Agustus: Amerika menjatuhkan bom ke Hiroshima dan Nagasaki. Jepang kalah. Lalu tanggal 2 September Jepang menandatangani pernyataan resmi kekalahannya.
Tetapi perlawanan Tiongkok memang panjang sekali. Pun setelah bom Amerika jatuh di Hiroshima.
Perang Tiongkok-Jepang sendiri kali pertama meletus di Beiping –sekarang disebut Beijing. Tahun 1937. Malam itu tentara Jepang sedang latihan di Wanping, satu kecamatan pinggiran Beiping. Di dekat Jembatan Marcopolo.
Di latihan malam itu Jepang merasa: salah satu tentaranya hilang. Diculik pejuang Tiongkok. Maka meletuslah perang. Berkepanjangan.
Korban tewas di seluruh Tiongkok mencapai 35 juta orang. Terbanyak di Nanjing. Kekejaman Jepang di Nanjing sangat membekas di seluruh rakyat Tiongkok.
Insiden di jembatan Marcopolo itu juga menjadi simbol keberanian pejuang Tiongkok. Disebut Marcopolo karena pelancong Italia yang Anda sudah kenal itu pernah ke jembatan tersebut dan menulis tentang keindahannya.
Di Taiwan kemenangan Tiongkok itu juga diperingati. Setiap tahun. Bahkan kemenangan itu dijadikan dasar bahwa Taiwan berhak memerintah kembali seluruh Tiongkok. Dasarnya: saat kemenangan itu terjadi yang berkuasa di Tiongkok adalah partai Kuomintang dengan Chiang Kai-shek sebagai ketuanya.
Setelah Tiongkok menang perang terjadilah perang sipil: Koumintangnya Chiang Kai-shek lawan Komunisnya Mao Zedong. Chiang Kai Shek kalah. Lari ke Chongqing. Dikejar. Lari lagi ke Chengdu. Dikejar. Terakhir lari ke Taipei –di pulau seberang laut. Tentara Mao Zedong tidak bisa lagi mengejarnya. Chiang Kai Shek mendirikan pemerintah Tiongkok di Taiwan. Tiongkok sendiri sudah dikuasai Mao.
Kini Tiongkok sudah merasa mampu mengejar Chiang Kai-shek, pun sampai ke Taiwan –meski tokoh itu sudah lama meninggal. Tiongkok ingin Taiwan kembali ke satu China –kalau perlu dengan cara kekerasan.
Peringatan 3 September di Taiwan tidak semeriah di Beijing. Kian tahun kian sederhana. Kian biasa-biasa saja. Cukup dengan meletakkan karangan bunga di Taman Makam Pahlawan. Atau memberikan penghargaan kepada para veteran.
Sebaliknya di Beijing. Peringatan kemenangan dirayakan dengan sangat heroik. Selalu membuat Jepang malu. Kekejamannya diungkap tiada henti.
Di Taipei, ketika investor Jepang membanjir masuk Taiwan peringatan ”mengalahkan” Jepang itu dilangsungkan dengan nada menjaga perasaan Jepang.
Di Beijing luka akibat kekejaman Jepang dinyatakan sangat dalam. Pun setelah banyak investor Jepang masuk ke Tiongkok.
Hubungan Tiongkok-Jepang cukup erat tapi tidak pernah mesra. Tiongkok merasa Jepang sering dipakai Amerika untuk memata-matai Tiongkok dan memusuhinya.
Begitu banyak pimpinan negara menghadiri parade di Beijing. Jepang tidak mengirim utusan sama sekali. Jepang justru menyesalkan Tiongkok: terlalu jauh menafsirkan kemenangannya itu –yang bisa menimbulkan semangat anti Jepang di mana-mana.
Saya selalu mengagumi kegagahan parade militer. Di mana pun. Sayang, saya tidak bisa melihat parade itu secara live kemarin. Pada jam parade itu, saya lagi di Medan: di rumah orang yang pernah mendeklarasikan dirinya sebagai Rasulullah abad ini. Deklarasi itu dilakukan di Makkah –di dekat Kakbah– yang membuatnya masuk tahanan di sana. Terlalu lama saya berbincang dengan sang nabi –baru selesai setelah live parade berakhir.
Saat melihat video parede beberapa jam setelahnya saya pun terkenang masa nan silam: saya duduk di kursi VIP di situ melihat parade militer serupa di lokasi yang sama.
“Tong shi men, nimen xing ku le,” sapa Xi Jinping dari atas mobil ke arah pasukan yang ditinjaunya.
“Wei ren min fu wu!” teriak setiap pasukan yang disapa dan dilewati Xi Jinping.
Hanya di Tiongkok inspektur upacara yang meninjau pasukan parade melakukan saling sapa seperti itu.
“Kawan-kawan, kalian telah sungguh-sungguh kerja keras,” sapa Xi Jinping lewat mikrofon keras.
Seluruh pasukan yang disapa serentak tegap mengubah posisi wajah ke arah inspektur upacara:
“Demi mengabdi ke rakyat!” sahut pasukan itu.
Semua resimen disapa seperti itu. Jawaban pasukan selalu sama: Demi mengabdi ke rakyat!
Waktu saya di situ inspektur upacaranya Presiden Hu Jintao. Kemarin Presiden Xi Jinping. Orangnya sudah tidak sama. Sapaan dan jawabnya masih sama.(Dahlan Iskan)