
MALANG POST – Serangan tikus dan burung kerap menjadi momok bagi petani padi di Desa Ampeldento, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. Selama ini, petani setempat masih mengandalkan cara tradisional untuk mengusir hama, mulai dari jebakan hingga penggunaan pestisida kimia yang justru menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.
Berangkat dari persoalan tersebut, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melalui program PPK Ormawa menghadirkan inovasi teknologi pertanian modern yang diharapkan bisa menjadi solusi berkelanjutan. Inovasi yang didanai Kemdiktiristek itu berupa Integrasi Smart Farming 5.0 berbasis SolarSonic IoT Guard, sebuah alat cerdas yang membantu petani mengendalikan hama tikus dan burung secara efisien serta ramah lingkungan.
Produk ini dikembangkan oleh Himpunan Mahasiswa Agribisnis (Himagri) UMM dengan dukungan dosen pembimbing dan kelompok tani setempat. Melalui teknologi ini, mahasiswa ingin menunjukkan bahwa pertanian bisa dikelola lebih modern tanpa harus merusak ekosistem. Ketua Himagri UMM, Galih Raka Yudistira, menjelaskan bahwa alat tersebut dirancang agar petani lebih mudah dalam menjaga tanaman padinya.
“SolarSonic IoT Guard bekerja otomatis dan dapat dikendalikan lewat aplikasi. Jadi, petani tidak perlu lagi bergantung pada cara konvensional yang kadang tidak efektif. Dengan teknologi ini, hasil panen diharapkan lebih aman dari serangan hama,” ungkapnya.
Produk inovatif tersebut dibekali dengan empat komponen utama. Pertama, Raspberry sebagai mikrokontroler yang mengatur sistem. Kedua, panel surya dan baterai sebagai sumber energi terbarukan sehingga bisa beroperasi 24 jam penuh. Ketiga, kamera thermal yang mampu mendeteksi perbedaan suhu tubuh hama dengan lingkungan sekitar. Keempat, speaker ultrasonik yang memancarkan gelombang suara khusus untuk mengusir hama tanpa merusak lingkungan.

Alat Smart Farming 5.0 ini beroperasi secara otomatis sepanjang hari dengan dukungan energi dari panel surya dan baterai. Pada malam hari, kamera thermal aktif untuk mendeteksi tikus, dan apabila terdeteksi, speaker pengusir tikus segera bekerja hingga pagi. Sementara pada pagi hingga sore, sistem beralih ke mode pengusir burung, di mana speaker burung menyala secara periodik untuk menjaga sawah tetap aman. Seluruh mekanisme berjalan mandiri, sehingga petani hanya perlu memantau data atau menyesuaikan volume melalui aplikasi IoT sesuai kebutuhan.
“Sistem ini dirancang adaptif sehingga dapat diperbarui seiring waktu. Hal ini penting karena tikus merupakan hewan pintar yang mudah beradaptasi terhadap gangguan berulang, sehingga pola penyalaan maupun frekuensi suara dapat diubah agar efektivitas alat tetap terjaga dalam jangka panjang,” katanya.
Di sisi lain, tim mahasiswa juga menghadapi berbagai tantangan teknis. Beberapa komponen harus dibeli di luar Malang karena sulit ditemukan di daerah setempat. Biaya pengadaan komponen yang relatif tinggi pun menjadi kendala tersendiri. Selain itu, tim memerlukan waktu lebih untuk mempelajari integrasi sistem IoT, termasuk pemrograman image processing agar deteksi hama berjalan optimal.
“Meski demikian, kerja keras itu membuahkan hasil yang menjanjikan. Alat ini mampu menekan kerugian akibat hama, meningkatkan hasil panen, sekaligus lebih ramah lingkungan dibanding penggunaan pestisida kimia,” katanya.
Manfaat program juga dirasakan mahasiswa. Menurut Galih, keterlibatan mahasiswa dalam perencanaan hingga monitoring menjadi pengalaman penting untuk melatih kepemimpinan, tanggung jawab sosial, dan kemampuan manajerial. Mereka belajar bagaimana berkolaborasi dengan masyarakat, sekaligus memastikan bahwa ilmu yang mereka pelajari benar-benar bermanfaat secara nyata. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)