
Oleh: Dahlan Iskan
Saya juga berjoget Sabtu lalu –tapi saya ingat pesan Rhoma Irama: “…Berjoget boleh saja…, boleh saja…. Asal sopan caranya”. Baca: asal sopan tempatnya..
Hari itu, 12 penari remaja sudah di panggung. Bikin atraksi. Semua berpakaian suku Dayak. Mereka datang dari Kalimantan Utara. Ketika mereka sampai ke gerakan kelima saya lari naik panggung. Masuk ke tengah-tengah mereka. Ikut berjoget. Joget sehat. Mirip gabungan antara tari-senam-aerobik. Saya optimistis bisa ikuti gerakan mereka. Hadirin di ballroom hotel itu pun tepuk tangan.
Itulah acara pemberangkatan 250 calon mahasiswa ke Tiongkok. Orang tua mereka ikut hadir –sekaligus perpisahan menjelang anak mereka pergi ke seberang jauh. Saya loncat ke panggung untuk menciptakan suasana gembira di saat banyak yang sedih campur bahagia.
Kesedihan lainnya: tokoh Raffi Ahmad tidak jadi hadir. Malam sebelumnya Raffi memberi tahu kami: tidak bisa meninggalkan Jakarta. Ibu kota lagi membara. Edy Kusuma, ketua umum Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) juga batal hadir. Padahal pengganti saya di Barongsai itu calon pemberi semangat “belajar sampai ke China”.
Kami memang biasa mengundang tokoh nasional untuk menyemangati acara seperti itu. Para calon mahasiswa pun sebenarnya sudah antre ingin berfoto dengan Raffi Ahmad. Apa boleh buat. Kerusuhan meletup di beberapa titik di berbagai kota.
Maka saya ubah acara hari itu menjadi agak ”liar”. Semua calon mahasiswa dari Malinau, Kaltara, saya minta naik panggung: berfoto dengan bupati mereka, Wempi Wellem Mawa.
Bupati Wempi juga suku Dayak. Untuk masa jabatan kedua ini ia calon tunggal. Lawan kotak kosong. Ia menang rekor: 95 persen.
Sudah beberapa tahun ini Malinau mengirim banyak calon mahasiswa ke berbagai universitas terkemuka di Jawa. Juga ke Tiongkok.
“Selama saya menjabat sudah 1.500 orang,” katanya. Ia ingin Malinau mengejar kabupaten lain di Kalimantan. Ia ingin meningkatkan sumber daya manusia di sana lewat pendidikan.
Kabupaten Malinau luasnya melebihi satu provinsi Jateng. Tapi penduduknya hanya 88.000 orang. Untung belakangan ditemukan tambang batu bara di sana. Pendapatan asli daerah pun mencapai Rp 1,5 triliun –dari APBD-nya yang Rp 3 triliun.
“Mengapa Krayan tidak masuk kabupaten Malinau?” tanya saya.
“Saya sulit menjawabnya,” ujar sang bupati.
Wempi memang orang yang sopan, halus, dan lembut. Ia tidak ingin bicara soal yang sensitif. “Pak Dahlan sudah tahu jawabnya. Kan sering ke Kaltara,” ujarnya.
Krayan adalah satu kecamatan berbatasan dengan Serawak dan Sabah. Tanahnya subur. Penghasil beras yang terkenal. ”Beras Krayan” banyak mengalir ke Serawak karena teksturnya yang punel –dan aromanya yang harum.
Keputusan Krayan dimasukkan ke Nunukan adalah pertimbangan demografis. Krayan hampir 100 persen Dayak. Sub sukunya sama dengan Dayak di Malinau. Bahkan sama dengan Dayak di perbatasan Serawak dan Sabah. Tapi pertimbangan itu telah mengorbankan kemudahan pembangunan wilayah pedalaman.
“Saya ingin meniru Malinau,” ujar Rasyid Bancin, wali kota Subulussalam.
Semula saya heran melihat kedatangan Rasyid ke acara ini. Apa hubungannya. Tidak ada calon mahasiswa dari Subulussalam.
Oh, rupanya ia ingin mendalami bagaimana cara mengirim calon mahasiswa dari Subulussalam ke luar negeri dengan cara yang hemat.
Rasyid baru terpilih sebagai wali kota Subulussalam. Ia lulusan Al Azhar, Cairo. Jurusannya sastra Arab. Ia didorong masyarakat di sana untuk maju jadi calon wali kota. Harapan terpilihnya kecil. Lawannya incumbent nan punya banyak dana.
“Beliau pasti lebih kaget, kok kalah dari saya. Saya saja yang menang kaget,” ujarnya.
Saya menemani dua kepala daerah itu ngobrol sebelum acara dimulai. Yang Malinau sangat Dayak dan Kristen. Yang Subulussalam sangat Aceh dan Islam. Wempi belum pernah tahu Subulussalam. Rasyid belum pernah tahu Malinau. Setelah saling kenal, saya tinggalkan mereka berdua agar hubungan lebih mendalam.
Di awal acara yang Dayak dan Kristen sudah tampil di panggung. Maka saya undang calon mahasiswa yang datang dari pondok pesantren. Semua saja. Dari pesantren mana pun.
Ternyata ada satu calon mahasiswa dari pondok tahfizh Quran. Yakni Ichsan Nur Kahfi dari Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an, Tangerang .
“Jadi, Anda hafal Quran?” tanya saya.
“Alhamdulillah,” jawabnya.
“Semuanya? Sebanyak 30 juz?”
“Alhamdulillah”.
Sudah banyak lulusan pondok pesantren kuliah di Tiongkok, tapi rasanya baru satu ini yang hafal Quran.
Seorang calon mahasiswa saya tanya: apakah ibunyi hadir di acara ini. Ada. Saya minta sang ibu ke atas panggung. Ternyata dari Kuningan, Jawa Barat.
“Kok tega putranya dilepas ke Tiongkok?”
“Saya punya dua anak. Kakaknya sudah kuliah di Taiwan”.
“Berarti tidak ada anak lagi di Kuningan?”
“Tidak apa-apa. Saya memang menantang anak-anak saya untuk melebihi ibu mereka,” katanyi.
Ternyata ibu ini lulusan Universitas Indonesia. Jurusan ilmu kesehatan masyarakat. Waktu itu dia mendapat beasiswa. Anak-anaknyi dia tantang untuk dapat beasiswa yang lebih hebat dari ibu mereka.
Lalu ada seorang ibu punya anak kembar. Wanita semua. Hanya itu anaknyi. Dua-duanyi berangkat ke Tiongkok. Ternyata saya pernah bertemu si kembar itu –alumnus SMA International Islamic School Pesantren Sabilil Muttaqin, Magetan.
Satu hal yang saya menyalahkan diri sendiri hari itu: mengapa acara itu tidak saya majukan seminggu sebelumnya. Tim intelijen Disway rupanya kecolongan info A1. Itulah kelemahan intel kami yang memang tidak dibiasakan ikut bermain.(Dahlan Iskan)