
Prabowo bersama anak-anak yang selama ini terlibat dalam Festival Pacu Jalur di Riau. (Foto: Disway)
Oleh: Dahlan Iskan
Semua mata penasaran melihat ke layar televisi: adakah Megawati di sana –di acara peringatan 17 Agustus di Istana Merdeka kemarin.
“Ada! Itu dia! Dia duduk di sebelah Guruh Soekarnoputra dan adik-adiknya,” ujar teman nonton bersama di Surabaya.
“Oh, iya. Dia duduk bersama keluarga Bung Karno lainnya,” sahut saya spontan. “Ini jalan keluar yang baik. Mega didudukkan dengan sesama anggota keluarga proklamator Republik Indonesia. Dengan demikian tidak harus duduk berdekatan dengan Presiden SBY dan Presiden Jokowi. Ini cara yang bijaksana,” kata saya. “Yang penting Megawati sudah mau hadir”.
Ternyata kami semua salah. Yang terlihat sekilas seperti Megawati itu bukan Megawati. Kami lama menunggu kamera menyorot lagi deretan Guntur. Agar bisa memastikan bahwa itu Megawati. Atau bukan.
Ternyata bukan. Mungkin istri Guntur. Terlihat lebih muda. Sayang kamera hanya sekilas melintas di deretan keluarga Bung Karno.
Pemirsa TV memang ingin tahu siapa saja yang tersorot kamera. Para mantan berada di deretan khusus: SBY, Jokowi, Budiono, Jusuf Kalla, Ma’ruf Amin, Try Sutrisno. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bersama istri.
Lalu, di antara kami, ada yang nyeletuk: di mana Mbak Titiek duduk? “Itu, di situ. Di samping mas Didit,” katanyi. “Kenapa sih tidak mau balikan lagi, sehingga tempat duduk mbak Titiek di sebelah Presiden Prabowo,” gumamnyi.
Mbak Titiek kelihatan anggun. Mas Didit, putra tunggal Prabowo-Titiek, juga terlihat semakin gagah. Kian maskulin. Dengan duduk di situ berarti mbak Titiek duduk di deretan keluarga Presiden Prabowo.
Salah satu yang juga jadi tebakan kami adalah: pakaian apa yang akan dikenakan Presiden Prabowo. Jas? Baju adat?
Ternyata Prabowo mengenakan atasan potong leher, separo sarung dan celana senada. Warnanya krem. Cuttingan bajunya sangat sempurna. Rapi. Necis. Prabowo kelihatan lebih berwibawa.
Siapa yang mendesain baju presiden itu?
“Dugaan saya, mas Didit sendiri,” ujar salah satu teman nobar terbatas ini. “Saya pernah kepingin banget punya baju yang didesain Mas Didit,” katanyi. “Sudah 10 tahun keinginan saya itu. Sejak mas Didit sudah terkenal sebagai desainer di Paris,” tambahnyi.
Tentu itu hanya spekulasi. Saya tidak ahli baju. Saya hanya mengiyakan. Apalagi spekulasinyi itu masuk akal.
Desain itu mengombinasikan pakaian nasional dan adat. Bukan sepenuhnya adat. Lihatlah: Presiden pakai kopiah hitam. Bukan penutup kepala adat.
Kebetulan pakaian adat yang dikenakan Presiden berupa pakaian Demang Betawi. Tidak terasa terlalu adat. Ada bau Melayunya.
Sehari sebelumnya saya sudah bertemu Mbak Titiek. Dua kilas. Yakni saat menyambut beliau turun dari mobil. Lalu saat beliau melintas di meja tempat saya duduk bersama mantan Menko Polhukam Djoko Suyanto dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Yakni di acara peluncuran buku “Satu Langkah di Belakang Mbak Tutut” di Balai Sudirman Jakarta.
Tentu kami juga menunggu: acara apa yang diselenggarakan seusai pengibaran bendera. Akan tetap adakah pesta rakyat seperti yang sangat disukai selama masa jabatan Presiden Jokowi?
Ternyata ada. Berlanjut. Diteruskan. Dengan pengurangan dan penambahan. Yang dikurangi dangdut-nya. Yang ditambahkan: penampilan silat. Termasuk menampilkan bintang film action yang ternyata memang jago silat.
Prabowo memang pembina silat nasional. Sudah puluhan tahun. Silat adalah seni bela diri asli Indonesia. Baru kini bisa tampil di puncak acara negara.
Yang nobar di sebelah saya orang yang bisa taichi dan wushu. Dia terlihat menyaksikan dengan saksama penampilan atraksi silat itu. “Ternyata silat juga bisa pakai tongkat ya,” katanyi membandingkan dengan wushu.
Yang sama dengan zaman Jokowi adalah kepekaan terhadap seni apa yang lagi super viral. Dulu ada penyanyi Farel “Ojo dibandingke” Prayogo. Lalu ada penyanyi wanita tuna netra yang sempat sampai American Idol: Putri Ariani.
Tahun ini yang lagi super viral adalah tari dayung Pacu Jalur. Dari Riau. Sampai mendunia. Maka didatangkan ke Istana Negara. Pacu Jalur ditampilkan dengan koreografi air dan perahu.
Puncak pesta di Istana itu Anda sudah tahu, lagu dari NTT: Tabola Bale. Lagu Timor. Lagu ritmis. Biasa untuk pesta rakyat di sana. Aslinya memang ditampilkan secara masal.
Maka tumpahlah undangan ke halaman Istana. Ikut berjoget ria. Pun Presiden Prabowo. Ikut berjoget. Dan yang mencolok disorot: istri Presiden Jokowi, Ibu Iriana. Dia bangkit dari tempat duduknyi. Sendirian. Berjoget sendiri. Yang di sekitarnyi tidak ada yang ikut bangkit berjoget.
Saya selalu menikmati “joget komando”. Yakni jogetnya tentara. Ternyata semua pasukan pelaku upacara di halaman Istana ini ikut berjoget: joget komando. Bukan joget dangdut. Semua pasukan ternyata bisa melakukannya. Jogetnya lebih ritmis. Sayang kamera kurang menyorot joget komando ini.
Tapi saya memuji kejelian mata kameraman kemarin: sesekali menyorot adegan yang sangat menarik dan unik: dua burung merpati putih bertengger lama di atas topi putih seorang tentara dalam pasukan. Sangat menarik. Jeli sekali mata kameraman.
Tentu fokus acara kemarin tetaplah Presiden Prabowo. Wajahnya segar. Pedalaman jiwanya seperti sangat bahagia.
Saya sendiri ikut acara proklamasi kemedekaan di RT saya. Yakni di acara syukuran tanggal 16 malam. Kebetulan salah satu warga RT ini pernah jadi Panglima TNI. Ikut hadir. Ia tetangga sebelah rumah saya: Jenderal Yudo Margono.
Kami sama-sama anak petani. Awalnya ia tidak tahu apa itu Akabri. Tapi oleh teman-temannya sesama lulusan SMA Negeri Caruban diajak mendaftar. Sembilan orang. Ternyata hanya Yudo yang diterima di Akabri.
Ia bisa menjalani latihan kemiliteran dengan baik. Waktu SMA ia naik sepeda ke sekolahnya 11 km. Tiap hari. Sehari 22 km. Biasa mencangkul. Kerja fisik. Di sawah. Biasa berenang di sungai. Tidak ada yang sulit.
Ia tidak menyangka menjadi jendral apalagi menjadi KSAL dan kemudian Panglima TNI.
Pegangan hidupnya: ‘Dapat alhamdulillah. Tidak dapat ya sudah’. Semua tugas ia anggap jalan hidupnya.
Yudho bercerita tidak pernah cari dukungan untuk menjabat apa pun.
Kebetulan “presiden” RT kami, Abdullah, sangat berprestasi. Di tingkat RT pun kalau sudah berarti ikut membangun negara. Setidaknya, hidup ini, jangan sampai menjadi beban negara.(Dahlan Iskan)