
DOSEN Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya, Abdul Wahid, S.I.Kom., MA. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UB, Abdul Wahid, S.I.Kom., M.A., menanggapi fenomena pengibaran bendera bergambar simbol anime One Piece di sejumlah wilayah menjelang peringatan Hari Kemerdekaan.
Fenomena yang memicu pro dan kontra ini dapat dikaitkan dengan ilmu semiotika. Semiotika, yang secara sederhana berarti ilmu tentang tanda dan makna, mempelajari bagaimana simbol dipahami dalam konteks tertentu.
Menurut Abdul Wahid, perspektif ini penting agar penafsiran simbol tidak terlepas dari asal-usul dan budaya yang melatarbelakanginya. Ia menjelaskan bahwa fenomena ini bukanlah hal baru.
“Sejak lama bendera One Piece sudah terlihat di banyak tempat, bahkan di luar negeri, dan tidak pernah menjadi masalah. Baru menjadi sorotan ketika dipasang bersamaan dengan bendera Merah Putih di momen kemerdekaan, lalu dibaca dalam konteks politik,” ujarnya.
Dia menambahkan kalau merujuk pada teks dan konteks asalnya, itu murni simbol fiksi, sama seperti tokoh Spider-Man atau Superman.
“Masalah muncul ketika simbol ini dibawa keluar dari konteks hiburan dan dibaca sebagai simbol politik,” jelas Wahid.
Ia menjelaskan, dalam cerita One Piece, terdapat narasi tentang ketidakadilan dan penguasaan dunia oleh kelompok tertentu. Narasi ini terkadang dimaknai sebagai metafora yang paralel dengan situasi sosial di dunia nyata, termasuk di Indonesia.
“Ketika simbol ini digunakan di ruang publik, penafsirannya bisa berkembang, baik sebagai bentuk ekspresi budaya pop maupun kritik sosial, terutama oleh kelompok pinggiran yang merasa disisihkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka,” ujarnya.
Dari perspektif semiotika, Abdul Wahid menguraikan dua cara membaca tanda: pertama, berangkat dari konsep atau gagasan yang disepakati; kedua, dari bentuk visual yang bebas diinterpretasikan oleh publik. Kedua pendekatan ini sah secara akademik, namun dapat menghasilkan tafsir berbeda.
“Masalah muncul ketika otoritas hanya menggunakan satu tafsir tunggal tanpa membuka ruang dialog,” ungkapnya.
Ia menegaskan, selama tidak melanggar undang-undang atau hak dasar warga negara, ekspresi simbolik seperti ini merupakan bagian dari kebebasan berekspresi.
“Kita perlu kritis, baik terhadap aturan maupun tafsir yang diberlakukan. Jika aturan dibuat untuk melindungi kepentingan bersama, tentu harus dipatuhi. Namun, jika aturan itu bias, perlu ada upaya untuk mengoreksinya,” tambahnya.
Menutup penjelasannya, Abdul Wahid berpesan agar pejabat publik siap menerima kritik dan membangun kebijakan yang berpihak pada masyarakat.
“Kalau ingin jadi pejabat publik, harus mau belajar, mau mendengar, dan siap dikritik. Kebijakan yang dibuat seharusnya selalu berorientasi pada kepentingan rakyat luas,” tegasnya.
Dengan memahami semiotika, UB berharap masyarakat dan pemangku kebijakan dapat memandang fenomena seperti ini secara proporsional, menjaga ruang berekspresi, sekaligus tetap menghormati simbol negara. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)