
Penyerahan bantuan USG utk palestina dari UNiversitas Brawijaya. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Setelah hampir tiga pekan menjalankan misi kemanusiaan di Gaza, Palestina, dua dokter dari Universitas Brawijaya (UB) kembali ke Indonesia dengan membawa lebih dari sekadar pengalaman medis. Mereka membawa kisah yang menginspirasi, juga menyentuh kesadaran kita tentang arti sesungguhnya dari kemanusiaan.
Keduanya menyaksikan langsung realitas getir yang membalut tanah Palestina seperti kelaparan, kehancuran, trauma, juga ketegaran.
Mereka adalah Dr. dr. Mohammad Kuntadi Syamsul Hidayat, M.Kes., MMR., Sp.OT dan Dr. dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp.An-TI, Subsp.M.N.(K), FIPP, dosen Fakultas Kedokteran UB yang tergabung dalam tim relawan bersama Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), berkoneksi dengan Rahmah Worldwide.
Selama di Gaza, keduanya bertugas di Rumah Sakit An-Nasr dan Rumah Sakit Eropa, dua fasilitas medis yang masih beroperasi di tengah krisis kemanusiaan.
Penyambutan di UB pun terasa haru.
Kepulangan mereka bukan sekadar kembalinya dua dosen, melainkan pulangnya dua representasi nilai kemanusiaan dan keberpihakan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan.
Keberangkatan Dr. Kuntadi dan Dr. Ristiawan ke Gaza didorong oleh kesadaran mendalam akan tanggung jawab moral sebagai tenaga medis. Mereka meyakini bahwa jika seseorang memiliki keahlian untuk menolong, maka diam bukanlah pilihan.
“Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Di Gaza, bahkan jika tidak bisa membantu secara medis, kehadiran pun bisa saja menjadi penghibur bagi mereka yang kehilangan,” terang Dr. Mohammad Kuntadi.
Pengalaman di Gaza ini menjadi titik emosional bagi Dr. Kuntadi. Ia mengungkapkan bahwa selama hampir 40 tahun menjadi dokter, belum pernah ia menyaksikan kondisi yang ia lihat di sana.
Anak-anak kecil tergeletak di lantai, tubuh mereka dipenuhi darah, bernapas tersengal-sengal tanpa perawatan layak, sementara asupan gizi nyaris tidak ada, karena tubuh mereka kekurangan protein. Dalam situasi serba terbatas itu, warga Gaza tetap bertahan dengan apa pun yang mereka punya.
Salah satu momen paling membekas baginya, adalah saat ia menangani seorang anak perempuan yang belum genap dua tahun, terkena peluru dan bersimbah darah.
Dr. Ristiawan turut menggambarkan kondisi rumah sakit di Gaza dengan penuh keprihatinan. Kapasitas ruang perawatan melonjak drastis hingga 250% dari kondisi normal. Bangunan fasilitas kesehatan banyak yang rusak, termasuk blok hemodialisis yang hancur akibat serangan bom.
Akibatnya, pasien terpaksa dirawat di tenda-tenda darurat yang didirikan di sekitar rumah sakit. Dalam keterbatasan alat dan minimnya pasokan medis, mereka hanya menggunakan obat dan bius jenis lama yang tersedia.
“Obat kurang, air bersih terbatas, fasilitas rusak dan risiko keamanan tinggi. Standar medis yang biasa kami jalankan tak bisa diterapkan sepenuhnya. Banyak prosedur harus dilakukan dengan alat seadanya, bahkan menggunakan obat-obatan lama yang sudah jarang dipakai, tentu ini menjadi tantangannya,” ujar Dr. Ristiawan.
Bukan tanpa risiko, karena suara dentuman bom dan kepulan asap menjadi latar yang terus mengiringi setiap langkah. Namun, tekad untuk hadir sebagai manusia bagi manusia lain membuat mereka tetap bertahan dan melanjutkan misi.
Kondisi paling mencolok bukan hanya luka fisik akibat perang, tapi kelaparan masif. Bahkan tenaga medis di rumah sakit pun pingsan karena tidak makan selama dua hari.
“Seorang dokter spesialis sampai harus diinfus. Anaknya menangis semalaman karena lapar. Dan kami tak tega makan sendiri. Bahkan pernah satu permen kopiko kami bagi ke dokter di sana. Mereka menerimanya dengan penuh syukur,” ujar Dr. Ristiawan.
Sebagai dokter yang terbiasa menghadapi situasi darurat, Dr. Kuntadi mengakui bahwa pengalaman di sana menggetarkan batinnya.
“Hingga semalam saya tiba-tiba menangis. Teringat kami cuma dua minggu. Tapi, mereka di sana bertahun-tahun, tenaga medis pun tetap bekerja walau situasi dan makan sulit,” tuturnya.
Salah satu momen yang masih teringat juga disampaikan oleh Dr. Ristiawan, ketika dalam perjalanan mereka melihat kerumunan warga sipil kurus, lemah, keluar dari lorong bangunan lalu meminta makanan di pinggir jalan.
“Mereka lapar, tapi tidak kasar. Hungry but not angry,” ujar Dr. Ristiawan.
Selain penjemputan dan pemulangan, selama dua minggu di sana mereka tidak pernah keluar dari rumah sakit, karena ancaman sniper yang bisa menembak kapan saja. Mengambil foto atau membuka ponsel pun sangat berisiko.
Mereka harus berhati-hati bahkan dalam menyebut nama organisasi. Semua aktivitas diawasi ketat dan dikawal oleh militer, membuat mereka harus menyesuaikan diri sepenuhnya dengan situasi yang serba dibatasi.
Menurut Dr. Kuntadi, perjalanan ke Gaza ini bukanlah keputusan mendadak, melainkan rezeki yang dikabulkan. Keinginan untuk terlibat dalam misi kemanusiaan ini telah menjadi bagian dari niat dan tekad yang terus disimpan. Ketika kesempatan itu datang, ia menerimanya tanpa ragu, dengan keyakinan bahwa ini adalah panggilan yang sudah dipersiapkan sejak lama.
“Kematian sudah ditentukan. Kenapa harus takut? Takdir kita sudah tertulis sebelum lahir, jadi saya menerima tawaran ini bahkan sebelum izin ke keluarga,” ujar Dr. Kuntadi.
Keduanya turut mengajak masyarakat untuk tidak menutup mata terhadap kondisi Palestina. Dr. Kuntadi dan Dr. Ristiawan menekankan bahwa bahwa bantuan tidak selalu harus berupa materi atau keahlian. Dalam kondisi serba terbatas, kehadiran, kepedulian, doa, bahkan satu tindakan kecil pun bisa menjadi kekuatan besar bagi mereka yang bertahan.
Dari puing dan reruntuhan Gaza, dua dokter UB kembali membawa cermin bagi dunia bahwa harapan, keikhlasan dan keberanian adalah bentuk tertinggi dari ilmu yang mengabdi pada kemanusiaan.
Kisah mereka mengingatkan bahwa profesi bukan sekadar pekerjaan, tetapi jalan untuk memberi makna. Dan bahwa kampus bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat tumbuhnya keberanian, empati dan tanggung jawab global. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)