
Proses pemilihan untuk recall atau pencopotan DPR di Taiwan-CNA-
Oleh: Dahlan Iskan
Begitu mendarat di Beijing Sabtu lalu berita besar yang saya baca pertama adalah ini: gerakan recall besar-besaran anggota DPR di Taiwan.
Hari itu 24 anggota DPR harus di-recall. Dicopot. Bukan oleh partai mereka tapi oleh rakyat.
Besoknya saya sudah tahu hasilnya: gagal. Suara untuk mencopot mereka kalah oleh yang mempertahankannya.
Sabtu itu, di 24 dapil anggota DPR Taiwan itu, diadakan ”pemilu” ulang. Semacam referendum. Di kartu suara hanya ada dua pilihan: ”yes” dan ”no”. Pertanyaannya: apakah anggota DPR di dapil tersebut harus dicopot.
Ternyata ‘no’ yang menang. Bahkan ada yang kedatangan jumlah pemilihnya minim
TPS lengang. Tidak mencapai angka 25 persen. Otomatis gerakan pencopotan di dapil itu gagal.
Di Taiwan rakyat memang punya peluang untuk mengganti anggota DPR di tengah jalan. Pernah berhasil. Dua tahun lalu. Seorang anggota DPR dinilai kurang giat ikut mengatasi pandemi Covid-19. Rakyat tidak puas. Me-recall-nya.
Nama anggota Yuan itu Anda sudah tahu: Freddy Lim. Kalau itu rakyat begitu antusian datang ke TPS ingin menggantinya. Suara ”yes” menang. Freddy Lim pun kehilangan kursi DPR.
Perusuh Disway seperti Liang tahu banget orang ini. Nama Mandarinnya: 林昶佐. Ia tinggi. Ganteng. Muda. Umurnya baru 41 tahun saat terpilih sebagai anggota DPR. Pekerjaan utamanya: penyanyi. Ia vokalis heavy-metal band Chthonic dan lead vocalist band Metal Clone X. Dead metal music. Freddy juga ketua Amnesti Internasional Taiwan.

Salah satu penyebab kejatuhannya: ia sendiri tidak melawan gerakan recall itu. Apalagi pakai serangan fajar. Atau pakai buzzer. Ia serahkan saja sepenuhnya pada pilihan rakyat di dapilnya.
Itu beda 180 derajat dengan gerakan recall besar-besaran Sabtu lalu. Para anggota DPR yang akan di-recall melawan. Mati-matian. Pun rakyat yang dulu memilihnya. Apalagi partai yang mengusung mereka: Kuomintang. Melawan habis-habisan.
Gerakan recall besar-besaran itu berlatar belakang politik. Bukan prestasi kerja seperti terhadap Freddy. Mereka musuh pemerintah. Mereka dianggap menghambat program penguasa: partai DPP.
Yang paling dibenci pemerintah, di DPR mereka melahirkan UU pemotongan anggaran pemerintah pusat. Anggaran itu dialihkan ke Pemda-Pemda. Alasannya: Pemda lebih riel dalam menyalurkan anggaran. Lebih langsung untuk kepentingan rakyat.
Pemerintah pusat menilai pemotongan itu akan melemahkan Taiwan. Utamanya dalam upaya melawan Tiongkok. Anggaran pertahanan memang juga dipotong.
Pemerintah saat ini adalah golongan yang ingin Taiwan merdeka sepenuhnya. Tiongkok menganggap Taiwan salah satu provinsinya.
Yang di-recall itu dianggap terlalu miring ke Tiongkok. Tahun lalu mereka melakukan kunjungan kerja ke Beijing. Tidak hanya 24 orang. Totalnya 31 orang. Yang tujuh orang masih akan di-recall bulan depan.
Kalau recall terhadap tujuh anggota DPR itu juga gagal maka parlemen tetap dikuasai Kuomintang. Partai oposisi ini menguasai 52 kursi. Partai pemerintah 51 kursi. Delapan kursi lainnya diduduki independen –tapi dalam pemungutan suara ikut Kuomintang.
Di Pilpres lalu rakyat memang memilih Lai Ching-te dari DPP sebagai presiden. Tapi memilih Kuomintang untuk menguasai parlemen. Rakyat Taiwan begitu pintar. Mereka tidak ingin presiden terlalu berkuasa.
Awalnya peluang rakyat untuk menurunkan anggota DPR sangat sulit. Sejak 1994 Taiwan punya UU Pemilihan Umum dan sekaligus Pencopotan Anggota DPR. Itulah tahun reformasi di Taiwan. Yakni tahun pergantian dari pemerintahan diktator ke demokrasi.
Semangat UU itu: Taiwan harus sangat demokratis. Tidak mau ada penyesalan: misalnya, salah pilih. Maka diberilah peluang mencopot kursi DPR di setiap dapil. Lalu diadakan Pileg ulang di dapil itu.
Dulu syarat recall itu sulit. Tahun 2017 dipermudah. UU direvisi. Cukup ada tanda tangan satu persen dari jumlah pemilih terdaftar di suatu dapil. Satu persen itu dilaporkan ke KPU. Sebagai langkah pertama. Setelah itu diberi waktu enam bulan untuk meningkatkan dukungan recall agar mencapai 10 persen.
Begitu mencapai 10 persen, KPU harus menyelenggarakan ”yes” atau ”no”. Tentu setelah KPU melakukan klarifikasi atas keabsahan tandatangan 10 persen tersebut.
Maka sejak kunjungan 31 anggota DPR ke Beijing atmosfir politik di Taiwan seperti musim panas di Beijing sekarang ini: siang hari 44 derajat. Panas sekali.
Sejak itu muncullah gerakan demo recall besar-besaran. Demo kian sering. Kian besar. Sampai ke perdebatan di DPR. Tidak hanya baku mulut pun sampai ke fisik.
Gerakan itu begitu masifnya sampai berhasil mengumpulkan tandatangan 10 persen di 31 dapil yang dikuasai Kuomintang. Bahkan termasuk me-recall salah satu wali kota di Taiwan.
Hasilnya: mereka kalah. Belum kalah total. Masih menunggu hasil recall yang tujuh lagi. Tapi perlawanan untuk tujuh orang itu juga sama totalnya. Seru sekali.
Partai tidak boleh me-recall anggota DPR di sana. Rakyat yang bisa melakukannya. Anda yang jengkel ke anggota DPR kaburlah ke Taiwan. (Dahlan Iskan)