
MALANG POST – Musik yang membahana. Bass yang menghentak dada. Lampu kelap-kelip dan suasana yang meriah. Bagi sebagian orang, inilah definisi hiburan sejati. Tapi hati-hati, di balik hingar-bingar ‘sound horeg’, tersembunyi ancaman yang bisa membekas seumur hidup, gangguan pendengaran permanen.
Fenomena ‘horeg’ istilah kekinian untuk menyebut suara musik yang super kencang, terutama dari sound system ber-bass tinggi kian menjamur di berbagai acara. Mulai dari hajatan kampung, konvoi, konser musik, sampai karnaval keliling desa. Makin keras, makin seru. Tapi makin membahayakan pula.
“Kalau telinga sampai berdenging atau terasa ‘pekak’ setelah dengar suara keras, itu bukan hal biasa. Itu sinyal bahwa telinga sedang stres,” ujar Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Penanganan Bencana Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu, dr Susana Indahwati, Minggu (27/7/2025).
Menurut Susan, gangguan pendengaran tidak selalu datang tiba-tiba. Justru, banyak kasus yang berkembang diam-diam, tanpa gejala yang langsung terasa.
“Awalnya mungkin hanya telinga berdenging atau terasa penuh. Tapi kalau dibiarkan, bisa berujung pada kehilangan pendengaran permanen,” jelasnya.
Paparan suara ‘horeg’ dalam jangka panjang bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan, bukan hanya pada telinga. Susan menyebut kondisi seperti tinnitus (telinga berdenging), temporary threshold shift (kehilangan pendengaran sementara), hingga permanent threshold shift (kehilangan pendengaran permanen) sebagai konsekuensi utama dari kebisingan ekstrem.
“Yang rusak itu sel-sel rambut halus di koklea. Kalau itu mati karena getaran suara terlalu keras, tidak bisa tumbuh lagi. Dampaknya akan dirasakan seumur hidup,” ujarnya.
Selain itu, paparan suara bervolume tinggi juga bisa memicu efek domino ke tubuh lain. Diantaranya seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah naik, gangguan tidur, bahkan kecemasan berlebih. “Sound system boleh ngebass, tapi jangan sampai bikin jantung ikutan deg-degan terus,” ujarnya.
Lebih jauh, dr. Susan juga menjelaskan bahwa paparan suara keras di malam hari berpotensi menurunkan kualitas tidur. Otak manusia, meskipun sedang tidur, tetap ‘mendengar’ suara di sekitar.
“Akibatnya, tidur jadi dangkal. Seseorang bisa bangun dalam kondisi lelah, mudah marah, sulit konsentrasi. Ini efek psikologis yang kerap tidak disadari,” katanya.

WASPADA: Sound horeg, saat ini tengah viral di tengah-tengah masyarakat, karena itu tenaga kesehatan di Kota Batu meminta masyarakat untuk waspada akan dampak negatifnya. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Di beberapa kasus, ia juga menemukan hubungan antara paparan suara keras dengan gangguan sistem pencernaan akibat stres. “Tubuh manusia itu satu sistem. Kalau satu terganggu, lainnya bisa ikut terpengaruh,” tambahnya.
Lalu, seberapa keras suara yang aman untuk telinga manusia. Menurut standar kesehatan global, ambang aman adalah di bawah 85 desibel (dB) untuk durasi maksimal delapan jam. Di atas itu, risiko kerusakan meningkat signifikan.
“Masalahnya, sound horeg sering kali tembus di atas 100 dB. Bahkan ada yang bisa mencapai 135 dB,” tegas Susana.
Ia menyarankan beberapa langkah sederhana untuk mengurangi risiko. “Pertama, pakai pelindung telinga kalau terpaksa harus berada di tempat bising. Kedua, jaga jarak dari sumber suara. Ketiga, ambil jeda setiap 30 menit untuk mengistirahatkan telinga,” terangnya.
Untuk pemakaian headset atau earphone, dr. Susan juga mengimbau agar volume tidak melebihi 60 persen dari kapasitas maksimal dan durasi penggunaan tidak lebih dari dua jam berturut-turut.
Fenomena sound horeg sejatinya tak bisa serta-merta dilarang. Musik tetap punya ruang penting dalam ekspresi budaya dan hiburan. Namun, literasi tentang efek jangka panjangnya masih sangat minim.
“Anak muda sekarang sangat ekspresif. Itu bagus. Tapi perlu dibarengi dengan kesadaran soal kesehatan. Jangan sampai karena ingin seru-seruan sesaat, kita kehilangan sesuatu yang sangat berharga, yakni pendengaran,” pungkasnya. (Ananto Wibowo)