
MALANG POST – Karnaval Desa Giripurno yang sebelumnya digadang-gadang Polres Batu sebagai percontohan penyelenggaraan kegiatan budaya yang tertib dan taat aturan, ternyata berakhir jauh dari harapan. Alih-alih jadi panutan, gelaran karnaval tersebut justru molor hingga dini hari dan terpaksa dibubarkan secara paksa oleh aparat gabungan.
Padahal, kesepakatan antara panitia dan pihak Kepolisian telah menetapkan batas waktu hingga pukul 23.00 WIB. Namun kenyataannya, hingga jam menunjukkan pukul 02.00 WIB dini hari, masih banyak peserta yang belum tampil, bahkan sound horeg masih berdentuman di jalanan.
Pembubaran akhirnya dilakukan oleh personel Polres Batu yang dibantu Brimob Polda Jatim. Meski dilakukan secara paksa, namun pendekatannya tetap humanis. Sekitar enam unit kendaraan bermuatan sound system besar yang masih antre tampil, diminta mematikan perangkatnya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Batu, KH Abdullah Thohir, angkat bicara soal insiden molornya karnaval. Menurutnya, ini bukti kurang tegasnya penegakan aturan yang sudah disepakati bersama antara panitia dan kepolisian dalam rapat koordinasi lintas instansi.
“Kalau kesepakatannya jam 23.00 WIB selesai, ya harus selesai. Itu sudah hasil rakor yang harus dipedomani. Tidak boleh ada toleransi,” tegasnya.
Ia menambahkan, batas waktu tersebut bukan asal ditentukan. “Pukul 23.00 itu sudah masuk waktu istirahat masyarakat. Jadi wajar kalau diminta berhenti,” ujar Kiai Thohir, Kamis (24/7/2025).
Terkait fenomena sound horeg, MUI Kota Batu sebenarnya tidak menolak keberadaan sound besar di acara masyarakat. Namun harus dibatasi. Volume tidak boleh melebihi 60 desibel dan tidak boleh digunakan lewat tengah malam. Termasuk, harus bebas dari aksi joget berbau pornografi maupun konsumsi miras di jalanan.
“Kami sudah pernah ikut rakor dengan kepolisian, desibel maksimal 60. Tapi di lapangan kadang bisa tembus 135 desibel. Itu sudah tidak sehat, apalagi bagi anak-anak,” jelasnya.

TAK BOLEH BUNYI: Pihak keamanan saat membubarkan secara paksa Karnaval Giripurno yang tembus hingga dini hari dan melanggar kesepakatan. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Soal fatwa haram dari MUI Jatim, MUI Kota Batu memilih ikut. “Kami ini lembaga struktural vertikal. Jadi secara kelembagaan kami ikut fatwa MUI Provinsi. Tapi kami juga sudah melakukan kajian lapangan sebelum fatwa itu keluar,” imbuhnya.
Kebag Ops Polres Batu, Kompol Anton Widodo mengakui bahwa pelaksanaan Karnaval Giripurno kali ini tidak berjalan sesuai harapan. Ia menegaskan, pihaknya akan melakukan evaluasi menyeluruh mulai dari pra pelaksanaan hingga teknis pengamanan di lapangan.
“Secara kasat mata, keterlambatan ini karena pawai yang seharusnya dimulai pagi hari mundur dari jadwal. Ditambah lagi kondisi jalan Giripurno yang naik-turun, membuat kendaraan peserta harus berhati-hati. Bahkan ada yang harus diganjal di turunan agar rem tidak panas,” jelas Anton.
Faktor lain yang memperparah keterlambatan adalah jumlah peserta yang sangat banyak, sehingga durasi tampil di panggung kehormatan pun memanjang. Dalam upaya menjaga ketertiban, petugas memberikan teguran kepada enam kendaraan peserta yang melaju terlalu lambat dan tak sesuai waktu.
“Langkah ini bagian dari komitmen kami untuk menegakkan aturan. Karena kalau dibiarkan, keresahan masyarakat akan makin besar,” tegas Anton.
Menurut Anton, pembelajaran dari Giripurno akan dijadikan acuan untuk penertiban karnaval-karnaval desa berikutnya di Kota Batu. Pihaknya akan turun langsung untuk melakukan asesmen teknis ke setiap desa yang akan menggelar pawai budaya.
“Harapan kami, desa-desa lain bisa mencontoh kesepakatan yang telah dibuat Desa Giripurno. Kalau dipatuhi, karnaval itu bisa menjadi atraksi wisata yang menarik, bukan sumber keresahan,” katanya.
Ia juga menegaskan, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akan tetap diproses sesuai ketentuan yang berlaku. “Ini bentuk ketegasan dan komitmen kami bahwa kepentingan umum masyarakat luas berada di atas kepentingan satu-dua kelompok,” tandasnya. (Ananto Wibowo)