
MALANG POST – Guna mengantisipasi tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan pondok pesantren (PP), perlu adanya kekompakan dan kerjasama yang baik, untuk semua pihak yang ada di dalam lingkungan pondok pesantren.
Pengasuh PP Asy Syafili Sumber Pasir, Drs. H. Abdul Mujib Syadzili, M.Si., menyampaikan hal tersebut saat menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk. Yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Selasa (15/7/2025).
Alasan yang disampaikan Mujib, ketika semua saling paham, maka tidak ada lagi gesekan yang terjadi. Baik antar santri dengan santri, maupun santri dengan pihak pondok.
“Akan berbeda memberikan pemahaman untuk santri dengan siswa. Mengingat santri harus berdampingan dengan semuanya selama 24 jam. Sedangkan siswa hanya sekitar tujuh jam dalam sehari,” ujarnya.
Sedangkan Ketua Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) yang juga Ketua RMI NU (Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyah), Dr. KH. Halimy Zuhdy menjelaskan, kekerasan di lingkungan pesantren bisa saja terjadi karena beberapa faktor. Seperti kultur senioritas.
“Karena jika sampai saat ini, sebuah pondok masih menerapkan hukuman kekerasan, jelas itu akan salah.”
“Artinya, kekerasan di pondok pesantren bisa jadi karena faktor lain. Seperti lemahnya regulasi dan evaluasi,” sebutnya.
Ustadz Halimy menambahkan, penting juga pemahaman yang tepat soal kekerasan. Baik untuk santri maupun pengurus pondok, supaya sama-sama paham. Sampai mana batas yang bisa dilakukan.
“Memang di dalam lingkungan pondok pesantren itu, ada aturan yang dijalankan. Sehingga ketika ada pelanggaran, maka santri diberi takzir atau hukuman.”
“Tapi takzir yang diberikan, tentunya juga yang mendidik. Contohnya dengan memerintahkan santri berdiri sambil membaca surat-surat,” jelasnya.
Itulah sebabnya, Ustadz Halimy meminta semua pihak lebih berhati-hati dalam memberikan takzir. Jangan sampai menghukum dengan kekerasan secara verbal maupun fisik.
Sementara itu, Direktur Pesantren Center Nusantara, Dr. KH. Abdurrahman Said, M.Pd menyampaikan, ketika lingkungan pondok pesantren terlalu eksklusif dan tertutup, akan menyulitkan masyarakat sekitar untuk melakukan kontrol sosial.
“Harusnya pondok pesantren itu bisa lebih terbuka dan memberikan kesempatan lingkungan sekitar dekat. Mungkin dengan mengadakan pengajian umum,” sebutnya.
KH Abdurrachman menambahkan, pesantren itu di konsep memiliki boarding. Karena memang secara makna sendiri, supaya para santri ini bisa tahu aktivitas dari para kiai, untuk dicontoh dalam kehidupannya sendiri. (Wulan Indriyani/Ra Indrata)