
MALANG POST – Bau sampah tak harus jadi aib. Di tangan yang tepat, tumpukan sisa makanan dan dedaunan bisa berubah menjadi harapan. Itulah yang mulai terjadi di Kota Batu. Sejak empat unit big composter resmi beroperasi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tlekung, Kecamatan Junrejo.
Empat sel big composter itu tak main-main. Masing-masing bisa menampung dan mengolah hingga 4 ton sampah organik per hari. Total kapasitasnya mencapai 16 ton per hari, cukup untuk memangkas beban TPA dari limpahan sampah basah yang selama ini hanya dibakar.
Wali Kota Batu, Nurochman menyatakan, selama ini, semua jenis sampah baik organik maupun anorganik diselesaikan dengan cara dibakar di insinerator. Padahal, volume sampah organik itu jauh lebih banyak.
“Volume sampah organik 60:40 dari total timbulan sampah,” kata Cak Nur, sapaan Nurochman, Minggu (13/7/2025).
Dengan adanya big composter, Pemkot Batu mulai mengubah pendekatan. Sampah organik seperti sisa makanan, ranting dan daun kini dipilah untuk diolah menjadi kompos. Sementara sampah nonorganik seperti plastik, logam dan kaca tetap ditangani insinerator.

BIG COMPOSTER: Wali Kota Batu, Nurochman saat melihat langsung proses pengolahan sampah organik di big composter TPA Tlekung. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Tak hanya itu, pengomposan ini didukung dengan teknologi sederhana tapi efektif, eco enzyme. Cairan fermentasi berbasis limbah dapur ini membantu proses penguraian sampah secara alami tanpa bau menyengat dan tanpa asap mengepul.
“Meski begitu, sebelum digunakan, kompos hasilnya harus diuji laboratorium,” jelas Cak Nur.
Cak Nur optimistis, kalau proyek ini konsisten dijalankan, Kota Batu bisa jadi percontohan nasional dalam pengelolaan sampah organik.
“Kalau ini berhasil, usia TPA bisa lebih panjang, lingkungan lebih sehat dan kita bisa sumbang pupuk untuk pertanian” urainya.
Rencananya, kompos hasil pengolahan bisa dipanen tiga bulan sekali. Nantinya, kompos ini akan dimanfaatkan untuk menyuburkan lahan pertanian, kebun-kebun apel dan program penghijauan kota.
Meski begitu, Cak Nur menyadari empat sel big composter saja belum cukup. Ke depan, Pemkot Batu berencana menambah unit baru dan mengaktifkan kembali rumah kompos di TPS3R tingkat desa, kelurahan dan dusun.
Disisi lain, Cak Nur juga sempat menyinggung perbedaan ukuran. “Kalau biasanya komposter itu cuma tong biru di belakang rumah, yang ini segede kontainer. Raksasa!,” ujarnya.
Langkah ini patut dicatat. Di tengah banyak kota yang masih kebingungan menangani gunungan sampah, Kota Batu mencoba memberi arah. Bukan sekadar memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat lain, tapi mengubahnya jadi sumber daya. Dari TPA yang dulu identik dengan bau, kini tumbuh semangat baru. Semangat bahwa urusan sampah tak melulu soal jijik dan kotor, tapi juga tentang masa depan. (Ananto Wibowo)