
MALANG POST – Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) terus memperkuat posisinya sebagai kampus global yang adaptif dengan menyelenggarakan program internasional tahunan Learning Express (Lex).
Program ini merupakan hasil kerja sama antara UMM dengan Singapore Polytechnic (SP) yang telah terjalin sejak 2014 dan terus berlanjut hingga saat ini.
Kegiatan ini mempertemukan mahasiswa dari kedua negara dalam kolaborasi proyek sosial berbasis metode design thinking.
Dalam pelaksanaannya, mahasiswa yang terlibat dalam program ini tidak hanya terjun langsung ke lapangan. Namun juga dituntut untuk memahami kondisi sosial dan merumuskan solusi nyata untuk pengembangan UMKM lokal.
Proses ini juga diiringi dengan pelatihan fasilitator serta sistem pendampingan intensif dari dosen muda yang dikirim ke Singapura setiap tahunnya.
“Lex merupakan program pembelajaran kolaboratif, ajang pembelajaran kontekstual yang setara dengan KKN internasional.”
“Program ini dirancang untuk mempertemukan 30 mahasiswa UMM dan 30 mahasiswa SP yang kemudian dibagi menjadi tiga kelompok kerja lintas budaya dan lintas disiplin,” jelas Dr. Ir. Listiari Hendraningsih, MP, Kepala International Relations Office (IRO) UMM.
Menurutnya, mahasiswa yang ingin mengikuti program ini harus melewati seleksi terbuka yang diumumkan melalui akun Instagram IRO.
Mereka menyaring mahasiswa berdasarkan kemampuan dasar berbahasa Inggris dan kesiapan komunikasi. Terdapat proses wawancara yang dilakukan oleh tiga fasilitator dan satu koordinator dari UMM.
“Seleksi ini, juga mempertimbangkan semester perkuliahan karena program ini idealnya diikuti oleh mahasiswa semester dua hingga enam,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa program Lex memiliki tahapan kerja yang padat dan terstruktur. Kegiatan dimulai dari observasi lapangan di UMKM.
Lalu dilanjutkan dengan proses sense and sensibility, define, ideation, dan diakhiri dengan perancangan prototype.
“Prototipe yang dirancang harus disetujui oleh pelaku UMKM, karena kami ingin solusi yang benar-benar bisa dijalankan, bukan sekadar gagasan ideal. Jadi para mahasiswa membuat prototipe berdasarkan kebutuhan UMKM,” ujarnya.
Adapun untuk tahun ini, lokasi proyek tersebar di tiga titik: Kebun Strawberry, Tempat Pengolahan Sampah (TPS) dan Pondok Labu.
Mahasiswa akan tinggal sementara di lokasi tersebut selama tiga hari untuk menggali persoalan yang paling mendesak. Setelah itu mereka melanjutkan diskusi di UMM.
“Lex bukan hanya tentang menyumbang ide, tapi juga menjadi sarana untuk mengasah empati, ketelitian, dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dalam waktu yang singkat namun intensif.”
“Bertujuan utama membentuk karakter yang adaptif secara global, percaya diri dalam komunikasi lintas budaya, dan mampu merespons permasalahan nyata dengan solusi yang aplikatif,” kata Listiari.
Ia menekankan bahwa Lex menjadi ruang pembelajaran sosial yang menyeimbangkan akademik, komunikasi, dan kepekaan sosial dalam skala internasional.
Ia berharap Lex tidak hanya menjadi program seremonial tahunan, tetapi pengalaman transformatif yang mampu mengubah cara pandang mahasiswa terhadap diri mereka sendiri dan dunia.
“Banyak dari mereka yang setelah ikut Lex menjadi lebih berani mendaftar ke program internasional lain seperti Erasmus atau studi lanjut ke luar negeri.”
“Bahkan hubungan dengan teman-teman dari Singapura pun sering berlanjut hingga bertahun-tahun,” ujarnya.
Ia berharap dengan program ini agar mahasiswa UMM memanfaatkan Lex sebagai batu loncatan untuk melatih kepemimpinan, berani tampil di ranah global, serta percaya bahwa setiap masalah sosial selalu punya solusi—asal ada kemauan, empati dan kerja sama lintas batas. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)