
MALANG POST – Penyedia sound horeg tengah melakukan koordinasi bersama MUI Jawa Timur, mengenai fatwa haram sound horeg, yang sebelumnya dikeluarkan oleh salah satu ulama di Jatim.
Dalam koordinasi itu, dibahas mendalam soal sound horeg yang sejak dulu hingga saat ini, masih timbul pro dan kontra.
Kondisi tersebut disampaikan David Blizzard, Pengusaha Sound Horeg yang juga Ketua Paguyuban Sound Horeg, saat menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk. Yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM.
Menurut David, pelaku usaha juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Karena sejauh ini pihaknya selalu menyediakan sesuai dengan permintaan masyarakat, yang merupakan hasil dari musyawarah.
“Jadi dampak yang ditimbulkan oleh sound horeg, seperti kerusakan gapura atau lainnya, murni tanggung jawab dari pihak penyewa. Karena pelaku usaha hanya berperan sebagai penyedia jasa,” katanya.
David memastikan, pihaknya tetap menaati aturan terkait desibel. Bahkan sering juga mensosialisasikan mengenai pakaian yang digunakan di dalam kegiatan seperti karnaval, sesuai dengan norma yang berlaku.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kab Malang, Muslimin membenarkan belum adanya regulasi baru soal sound horeg dari Pemprov Jatim.
Namun di Kabupaten Malang, tengah ditinjau Ranperda revisi dari Perda Nomor 11 Tahun 2019. Salah satunya terkait batasan desibel yang awalnya 60 desibel menjadi 120 desibel.
“Pro dan kontra yang hadir sudah biasa dan di sinilah peran pemerintah menjembatani, menyesuaikan dengan realita di tengah masyarakat, untuk menjamin hak dari setiap warga,” katanya.
Selain itu Muslimin juga menilai, Pemkab Malang sudah berusaha semaksimal mungkin mencari jalan tengah. Agar penyedia sound bisa terus jalan dan tidak memunculkan kerugian pada masyarakat.
Sementara itu, dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang, Taufiq Rahman Ilyas, SAP., MAP., menilai sound horeg sebagai bentuk ekspresi dari masyarakat yang timbul stigma.
Maka dari itu, dia menekankan sound horeg ke depannya harus dikemas agar memunculkan sisi positifnya.
“Perlu pendekatan sosial dan kultural yang dihadirkan oleh pemangku kepentingan. Tujuannya untuk menekan konflik yang kian muncul sampai sekarang,” tegasnya.
Selain itu, Muslimin juga memandang perlunya regulasi jelas dari pemerintah, agar hak dari pelaku usaha dan masyarakat itu sendiri, tidak ada yang merasa dirugikan dengan kehadiran sound horeg. (Faricha Umami/Ra Indrata)