
KEHANGATAN: Karena bediding atau hawa dingin, beberapa warga di sebuah komplek di kota malang menyalakan api unggun saat ronda kampung. (Foto: M. Abd. Rachman. Rozzi/Malang Post)
MALANG POST- Setiap tahun pada Juli hingga Agustus, Kota Malang menjadi tuan rumah bagi ribuan mahasiswa baru (maba) yang datang dari berbagai penjuru Indonesia, bahkan dunia.
Tentu saja, sebagai kota pendidikan (bersaing dengan Yogya dan Surabaya), kota ini memang jadi tujuan banyak (calon) mahasiswa di Indonesia.
Dan entah kenapa, kota ini seakan-akan ikut ‘menyambut’ kedatangan mereka dengan tiba-tiba jadi dingin di bulan-bulan tersebut.
Ini bukan hanya fenomena kebetulan. Tapi ada kaitannya dengan kondisi cuaca nasional yang sedang puncak musim kemarau. Serta letak geografis Malang yang berada di dataran tinggi.
Fenomena udara dingin ini, sebenarnya berkaitan erat dengan kondisi cuaca nasional.
Pada waktu tersebut, sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Pulau Jawa, sedang mengalami puncak musim kemarau.
Musim kemarau di Indonesia terjadi karena dominasi angin muson timur. Yaitu angin yang bertiup dari daratan Australia menuju Asia.
Dikarenakan Australia berada di belahan bumi selatan dan matahari sedang lebih intens menyinari bagian utara bumi, maka tekanan udara di selatan lebih tinggi, mendorong udara dingin dan kering ke arah utara.
Udara yang berasal dari Australia, memiliki karakteristik yang berbeda dari udara yang datang di musim hujan.
Di musim kemarau, udara yang datang bersifat kering dan lebih sejuk. Sedangkan saat musim hujan, angin muson barat membawa udara yang lebih lembap dan hangat dari wilayah Asia dan Samudera Hindia.
Kondisi geografis Kota Malang semakin memperkuat efek ini, yang dimana terletak di dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 400 meter di atas permukaan laut dan diapit oleh pegunungan. Kota ini secara alami memiliki suhu yang lebih rendah dibanding daerah pantai.
Ketika angin musim kemarau bertiup, udara yang dibawanya pun semakin menambah rasa dingin, bahkan di siang hari.
Sensasinya mirip dengan berada di puncak gunung. Meskipun matahari bersinar terik, namun suhu tetap menusuk tulang karena angin dingin yang terus bertiup.
Prakirawan Stasiun Meteorologi BMKG Juanda, Siska Anggraeni mengamini, jika suhu udara yang lebih rendah pada malam hari, memang biasa terjadi saat musim kemarau.
“Fenomena bediding ini adalah fenomena biasa terjadi khususnya di puncak musim kemarau.”
“Untuk potensi terjadinya tidak terus-terusan setiap hari karena kondisi atmosfer juga perubahannya sangat dinamis,” jelasnya.
Berdasarkan pengamatan suhu permukaan di Stasiun Meteorologi Juanda, suhu minimum beberapa hari terakhir berkisar antara 18 hingga 21 derajat Celsius. Sedangkan suhu maksimum pada siang hari tercatat mencapai 30 derajat Celsius.
Siska menambahkan, saat ini wilayah Jawa Timur kususnya Malang Raya memang telah memasuki musim kemarau. Puncaknya diperkirakan terjadi pada bulan Agustus mendatang.
Penurunan suhu malam hari dipengaruhi oleh aliran udara dari Australia yang membawa massa udara dingin ke wilayah Jawa Timur.
Selain itu, kondisi langit cerah di malam hari juga mempercepat pelepasan panas dari permukaan bumi, sehingga suhu turun lebih drastis.
Dengan adanya kondisi tersebut, BMKG mengimbau masyarakat untuk menjaga kesehatan serta terus memantau informasi cuaca terbaru.
“Kami menghimbau untuk masyarakat dalam menyikapi fenomena bediding ini agar tetap menjaga kesehatan serta memonitor secara berkala prakiraan cuaca melalui aplikasi mobile InfoBMKG maupun di website resmi kami untuk detailnya. https://stamet-juanda.bmkg.go.id/home/pages/prakiraan/kabupaten.php,” tandasnya.(M. Abd. Rahman. Rozzi)