
MALANG POST – Hari pembagian rapor sejatinya adalah ruang yang penuh makna. Momen ini lebih dari sekadar seremonial akademik. Situasi Ini adalah momen reflektif yang mengundang orangtua untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk rutinitas, dan menengok ke dalam proses tumbuh kembang anak-anak merek
Di balik selembar kertas berisi deretan angka dan huruf, tersembunyi cerita panjang yang tidak selalu tampak; tentang kegigihan di tengah kesulitan, keberanian untuk mencoba meski pernah gagal, rasa ingin tahu yang terus menggelora, dan ketekunan yang tumbuh perlahan dari hari ke hari. Setiap nilai adalah jejak langkah kecil dalam perjalanan besar bernama pembelajaran.
Bagi orangtua, hari itu adalah pengingat akan peran yang selama ini mungkin berjalan diam-diam, namun penuh cinta. Tentang malam-malam panjang yang dihabiskan menemani belajar, mendengarkan keluh kesah anak yang lelah, atau sekadar memeluk saat mereka merasa kecewa, dan membacakan cerita sebelum tidur.
Hal Ini bukan hanya tentang prestasi, tapi tentang perjalanan emosional yang ditempuh bersama. Tentang membangun kepercayaan, menumbuhkan semangat, dan menghadirkan rasa aman agar anak berani menghadapi tantangan.
Perlu disadari bahwa hasil belajar anak tidak bisa disamaratakan. Setiap individu adalah dunia yang unik. Ada anak yang menemukan maknanya dalam logika dan angka, ada yang tumbuh melalui karya seni, panggung ekspresi, atau dalam interaksi sosial yang memperlihatkan empati dan kepemimpinan.
Pendidikan sejati tidak bertujuan melahirkan juara dalam perlombaan nilai, melainkan membimbing anak-anak untuk mengenali dirinya sendiri, memahami potensi yang mereka miliki, dan menemukan jalan hidup yang sesuai dengan minat serta harapan mereka.
Karena itu, tugas orangtua dan pendidik bukanlah menetapkan standar yang homogen, apalagi membandingkan satu anak dengan anak lain. Peran utama mereka adalah menciptakan ruang yang aman dan suportif untuk anak bertumbuh mendampingi, bukan menghakimi; memfasilitasi, bukan membatasi; memberi kepercayaan, bukan tekanan.
Setiap anak memiliki waktu dan cara masing-masing untuk bersinar. Dan hari pembagian rapor ini, semestinya menjadi selebrasi atas proses, bukan semata hasil. Perayaan atas perjalanan belajar, bukan hanya pencapaian angka. Hal ininah sebenarnya esensi dari penerimaan hasil belajar siswa.
PENDIDIKAN KARAKTER VS GAYA HEDON
Namun, belakangan ini, nuansa hari pembagian rapor di sejumlah sekolah, khususnya di kota-kota besar, mulai bergeser. Hari yang seharusnya menjadi ruang kontemplatif tentang capaian dan proses belajar anak-anak, perlahan berubah menjadi panggung gengsi.
Deretan mobil mewah berjajar rapat di halaman dan sepanjang bahu jalan sekolah, menciptakan suasana yang lebih mirip sebuah acara eksklusif ketimbang momen pendidikan. Suara klakson, deru mesin kendaraan kelas atas, serta keramaian orangtua yang sibuk memamerkan karirnya atau busana mahal menjadi pemandangan yang tak lagi asing.
Alih-alih fokus pada pencapaian anak, perhatian justru tertuju pada siapa yang datang paling mencolok, dan siapa yang tampak paling “sukses” di mata sosial. Seolah hari pembagian rapor bukan lagi tentang tumbuh kembang peserta didik, tetapi berubah menjadi ajang unjuk status dan gaya hidup.
Fenomena ini menyiratkan pergeseran nilai dari semangat mendampingi proses belajar anak, menjadi kompetisi tak kasatmata antar orangtua. Sebuah ironi dalam dunia pendidikan yang seharusnya menumbuhkan kesederhanaan, empati, dan esensi makna belajar.
Betul, hal tersebut memang tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Di balik kemewahan yang tampak, ada cerita panjang tentang kerja keras, usaha tanpa lelah, dan perjuangan orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Mobil mewah, pakaian bermerek, atau barang-barang prestisius bisa jadi adalah simbol keberhasilan yang dicapai melalui proses panjang yang penuh keringat dan pengorbanan. Mereka ingin merayakan pencapaian, baik pencapaian anak maupun pencapaian pribadi sebagai orangtua.
Namun, yang perlu diingat adalah konteks dan nilai yang ingin ditanamkan dalam dunia pendidikan. Selebrasi sah-sah saja, tetapi hendaknya tidak mengaburkan makna utama dari hari pembagian rapor itu sendiri; sebuah momen untuk menakar proses, bukan hanya memamerkan hasil.
Keseimbangan antara kebanggaan pribadi dan penghargaan terhadap nilai-nilai pendidikan menjadi penting, agar hari yang seharusnya sarat makna tidak bergeser menjadi ajang pembuktian status sosial semata.
WAKTUNYA INTROSPEKSI
Sekolah tidak bisa sendirian mengajarkan nilai-nilai luhur. Orangtua punya peran sentral sebagai panutan utama. Saat datang ke sekolah dengan gaya berlebihan, sadar atau tidak, mereka sedang mengajarkan anak-anaknya bukan tentang ilmu, tapi tentang gaya hidup yang lebih mementingkan tampilan daripada isi.
Sudah waktunya kita semua kembali ke akar pendidikan. Menghargai proses, mengutamakan nilai, dan menjadi contoh dalam kesederhanaan. Karena di tengah gemerlap mobil mewah dan baju bermerek, ada satu hal yang tak bisa dibeli yaitu karakter yang kuat dan hati yang rendah hati. (*)
Penulis: Suhardi, S.Pd., M.Pd.
Staf Seksi Humas UM Peraih Bronze Winner Anugerah Diktisaintek 2024 Kategori PTNBH Subkategori Insan Humas