
MALANG POST — Upaya transformasi pendidikan berbasis digital tengah digencarkan di sejumlah sekolah dasar di wilayah pinggiran.
Melalui kepemimpinan reflektif dan semangat kolaboratif, kepala sekolah di SDN Kalianyar 1 dan Kalianyar 2 , Bondowoso Jawa Timur serta SDN 1 Tana Tidung Kaltara menjadi motor penggerak inovasi pembelajaran berbasis teknologi, meski dalam keterbatasan sarana dan dukungan infrastruktur.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara tim peneliti, slSenin (16/6/2025) kepala sekolah di ketiga SD tersebut secara rutin menggelar forum reflektif bersama guru. Mereka membahas tantangan dan strategi pembelajaran.
“Kami berusaha menjadi teladan dalam membuka ruang dialog dan merancang kebijakan yang adaptif dengan kondisi siswa,” ungkap salah satu kepala sekolah.
Dalam forum-forum tersebut, guru diajak untuk mengevaluasi praktik belajar-mengajar dan menyampaikan umpan balik terhadap kebijakan yang sedang berjalan.
Hasilnya, sejumlah pendekatan baru mulai diterapkan, seperti penggunaan micro learning berbasis video pendek, proyek kontekstual, dan integrasi media digital sederhana seperti PowerPoint, gambar, dan video edukatif.
Namun tantangan besar tetap mengemuka. Dari sisi literasi digital, guru dan orang tua masih menghadapi keterbatasan perangkat dan akses internet.
Banyak siswa yang tidak memiliki perangkat digital di rumah, bahkan sebagian besar tinggal bersama kakek-nenek yang belum terbiasa dengan teknologi.
Meski demikian, semangat guru dalam belajar mandiri, melalui YouTube dan forum Kelompok Kerja Guru (KKG), patut diapresiasi.
“Kami memanfaatkan YouTube untuk belajar desain konten pembelajaran. Tapi kami berharap ada pelatihan resmi yang lebih sistematis,” kata salah satu guru di SDN Wonosari 1.
Pelatihan literasi digital yang terstruktur dianggap menjadi kebutuhan mendesak agar tidak terjadi kesenjangan antar guru dalam hal pemanfaatan teknologi.
Di sisi lain, implementasi micro learning multi-mode secara perlahan mulai menjadi bagian dari keseharian guru.
Beberapa aktivitas seperti observasi langsung di alam sekitar, proyek kerajinan tangan berbasis budaya lokal, serta penggunaan media visual untuk memperkenalkan konsep abstrak, menjadi strategi yang efektif dalam meningkatkan motivasi dan pemahaman siswa.
Meskipun teknologi AI belum digunakan secara nyata di sekolah-sekolah tersebut, para kepala sekolah menyatakan komitmennya untuk mulai menjajaki potensi teknologi kecerdasan buatan sebagai alat bantu identifikasi kebutuhan belajar siswa secara lebih personal.
Harapan besar tertuju pada pelatihan guru tentang AI di masa depan sebagai langkah awal menuju pendidikan yang lebih inklusif dan adaptif.
Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Malang, Dr. Juharyanto, M.M., M.Pd mendorong berbagai inovasi mulai regulasi hingga hibah penelitian.
Termasuk berbagai pendampingan, baik bagi kalangan internal UM maupun masyarakat luas melalui berbagai hibah pengabdian pada masyarakat.
“Transformasi digital pendidikan tidak hanya soal perangkat, tapi juga soal budaya reflektif, kolaborasi, dan keberanian mencoba hal baru. Apa yang dilakukan sekolah-sekolah ini bisa menjadi model inspiratif bagi daerah lain,” ujar dosen FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan) ini.
Melalui semangat kepemimpinan transformasional digital, kolaborasi lintas aktor pendidikan, serta keberanian bereksperimen dalam kondisi keterbatasan, sekolah-sekolah di wilayah pinggiran Malang telah membuktikan bahwa inovasi pendidikan bisa tumbuh dari bawah.
Kini saatnya dukungan lebih besar datang dari pemangku kebijakan untuk memastikan perubahan ini berlanjut dan berdaya tahan (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)